Demonstrasi menolak Undang-Undang omnibus law Cipta Kerja terjadi di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) tidak sepenuhnya diterima oleh publik.
Masing-masing memiliki argumentasi sendiri-sendiri, yang pro UUCK yaitu pemerintah dan DPR selalu menyatakan bahwa UUCK disusun untuk menarik investasi khususnya investasi asing dan berupaya mensejahterakan rakyat.
Sebaliknya yang kontra dengan pemerintah dan DPR terutama kaum pekerja, mahasiswa, akademisi dan masyarakat sipil yang kritis beragumentasi bahwa UUCK mengurangi hak-hak kaum pekerja dan masalah-masalah lain yang dianggap merugikan masyarakat.
Masih ada substansi UUCK yang dianggap masih bermasalah yaitu ketenagakerjaan, lingkungan dan pendidikan khususnya izin pendirian pendidikan formal.
Kalau dikelompokkan menjadi kluster, ada 11 kluster untuk UUCK: (1) penerdanaan perizinan tanah, (2) persyaratan investasi, (3) ketenagakerjaan, (4) kemudahan dan perlindungan UMKM, (5) kemudahan berusaha, (6) dukungan riset dan inovasi, (7) administrasi pemerintahan, (8) pengenaan sanksi, (9) pengendalian lahan, (10) kemudahan proyek pemerintah, dan (11) kawasan ekonomi khusus (KEK) memang tidak semua klaster menuai protes ada juga klaster-klaster yang menguntungkan masyarakat.Â
Selain masalah substansi, masalah prosuder penyusunan undang-undang juga dipermasalahkan, UUCK pertama kali diajukan oleh Presiden Joko Widodo sekitar bulan Oktober 2019, dalam waktu 1 tahun DPR mampu mengubah 79 undang-undang dalam waktu sangat cepat meskipun masih dalam masa pandemi Covid-19.
UUCK yang dikoordinasi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian yang diklaim oleh pemerintah akan menciptakan lapangan kerja baru dan dapat meningkatkan kesejahteraan kaum pekerja disinyalir tidak terbuka untuk  publik dan proses penyusunan UUCK tidak melibatkan stake holder.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengatakan, proses penyusunan draf  UUCK yang tertutup merupakan bentuk pelanggaranan serius terhadap konstitusi. Konstitusi negara mengatur soal keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam menyusun Undang-undang (UU) (Kompas.com.30/01/2020).
Selain masalah substansi dan prosedur penyusunan UUCK masalah munculnya beberapa draf  UUCK yang beredar  membuat masyarakat tambah bingung apalagi komunikasi pemerintah tidak begitu jelas tentang UUCK, pemerintah cenderung menghakimi masyarakat seolah-olah percaya pada hoaks.
Faktanya masyarakat dibuat bingung karena ada tiga draf UUCK yang beredar yaitu draf pertama setebal 905 halaman yang beredar pada saat RUU ini disahkan menjadi UU pada 5 Oktober 2020, draf UUCK kedua setebal 1.035 halaman degan nama simpan “RUU CIPTA KERJA-KIRIM KE PRESIDEN.pdf, draf ini merupakan perbaikan pada draf pertama dan yang terakhir draf UUCK yang tebalnya 812 halaman dengan nama simpan “RUU CIPTA KERJA-PENJELASAN.pdf. jumlah halaman menyusut disebabkan perubahan format pengaturan legal (Kompas.com 13/10/2020).
Akibat Koalisi Gemuk
Jika kita analisis penyebab munculnya  Undang-undang (UU KPK, Minerba, MK dan UUCK) merupakan hasil deal politik pemerintah dan DPR meskipun keempat undang-undang tersebut masih banyak mendapat penolakan publik.
Pemerintahan dalam hal ini presiden sangat paham  bahwa untuk memuluskan hasrat politiknya dibutuhkan koalisi gemuk dengan model power sharing. Tanpa koalisi gemuk program pemerintah akan selalu kandas dalam proses pembahasan di DPR.
Akibatnya hampir setiap program pemerintah selalu mendapat dukungan dari sebagian besar anggota DPR meskipun program tersebut mendapat tantangan keras dari publik, contohnya perubahan UU KPK dan UUCK.
Yang diperlukan pemerintah saat ini memang efektivitas dan stabilitas pemerintah adalah kolasi gemuk dan ini merupkan salah satu cara dalam sistem  presidensial dan multi partai. Di dalam sistem presidensial dan multi partai membentuk koalisi partai politik adalah sangat wajar dan umum terjadi.
Pengalaman pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berasal dari partai politik yang memiliki kursi  kecil di DPR dalam proses penyusunan undang-undang dan program-program pemerintah banyak yang mendapat perlawanan bahkan penolkan dari DPR.
Akibat dari koalisi super gemuk mekanisme checks and balances menjadi tidak efektik yang terjadi justru sebaliknya yaitu kesepakatan politik untuk mendukung program pemerintah.
Belajar dari pengalaman demonstrasi besar-besaran menentang produk undang-undang yakni UU KPK dan UUCK yang dianggap  tidak mencerminkan aspirasi publik menunjukkan hubungan antara wakil rakyat yang duduk di DPR dengan rakyatnya tidak harmonis.
Mahasiswa, masyarakat sipil dan para akademisi seolah-olah  dibutuhkan manakala calon anggota DPR dan calon presiden memerlukan mereka. Setelah menjadi anggota DPR dan presiden pendukungnya  jangan berharap terlalu banyak kepada mereka.
Masalah yang tidak kalah pentingnya dalam proses penyusunan RUU khususnya UUCK adalah dimungkinkan pengaruh oligarki , MUI menilai pengesahan UUCK di tengah ramainya penolakan masyarakat menunjukkan kesan perpolitikan tanah Air dikuasai oligarki (Kompas.com,9/10/2020).
Sementara itu organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga tidak kalah kerasnya dalam menolak UUCK. Pengaruh para oligark sebetulnya pernah disampaikan dalam tulisan Jeffrey Winters (2013) yang berjudul Oligarchy and Democracy in Indonesia, sekelompok orang yang memiliki modal besar yang bisa mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan keputusan yang tujuannya melindungi sekaligus mengembangkan kekayaannya.
Kaum oligark hanya duduk santai di kantor tetapi pengaruhnya sudah dipersiapkan sejak awal dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingannya. Praktik seperti ini sulit dibuktikan  tetapi sudah ada cukup lama di Indonesia. Hal ini tidak saja bisa mencederai demokrasi di Indonesia tetapi juga akan berdampak pada masyarakat umumnya.
Dibutuhkan refleksi agar kita bisa berpikir jernih dan mendalam serta objektif dalam menilai suatu pemerintahan itu benar-benar memihak pada rakyat atau tidak. Memang sangat sulit penilaian bisa betul-betul objektif ketika pemerintah sedang berkuasa, pasti akan terjadi pro dan kontra.Â
Siapa yang berani menilai bahwa Orde Baru saat berkuasa menggunakan cara-cara otoriter dalam memerintah tetapi setelah Orde Baru sudah tidak berkuasa penilaian baru bisa objektif.
Setidaknya refleksi terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi merupakan cerminan dari pemerintah dalam melaksankan pemerintahannya. Hal ini sangat bermanfaat bagi kita dalam menentukan pilihan pemimpin di masa yang akan datang.
Semoga bermanfaat.
Pati, 19 Oktober 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI