Akhir Mei 2023 publik dihebohkan dengan pernyataan Denny Indrayana yang mengklaim mendapat bocoran putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengenai sistem pemilu 2024. Denny berdalih bahwa tidak akan ada keadilan hukum tanpa viral di media sosial atau yang populer dengan istilah No Viral No Justice. Lalu, apa sebenarnya No Viral No Justice itu? Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Bagaimana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyikapi fenomena tersebut? Apakah berdampak pada kredibilitas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menegakkan keadilan?
Sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mengutip pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie, SH., Austria merupakan negara pertama yang memiliki Mahkamah Konstitusi sejak tahun 1920. Barulah secara bertahap juga diikuti oleh negara lain, termasuk Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia  resmi berdiri sejak 2003. Pada tahun 2023, telah memasuki dua dekade. Tentu pencapaian ini menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia untuk merefleksikan peran dan kontribusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam memperkuat fondasi demokrasi serta melindungi dan mempertahankan konstitusi negara.
Sebelum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdiri, pertikaian antara lembaga-lembaga negara dalam menafsirkan konstitusi sering terjadi. Bahkan seringkali menjadi krisis politik yang merugikan stabilitas dan kesatuan bangsa. Kehadiran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia  membawa perubahan signifikan dalam menyelesaikan konflik konstitusional dan memberikan wadah netral untuk menegakkan supremasi konstitusi.
Pendirian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan jejak berharga dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kedaulatan hukum dan penguatan sistem demokrasi. Berdiri tegak di tengah lautan tantangan dan dinamika politik, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah menjadi penjaga teguh prinsip-prinsip konstitusional dan penegak keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Wacana tentang lembaga pengadilan konstitusi pertama kali muncul pada era awal kemerdekaan, tepatnya saat penyusunan UUD 1945. Namun, baru pada masa reformasi, tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri secara resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Implikasi dari peratutan tersebut adalah pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga otonom yang memiliki tugas dan fungsi dalam pemeriksaan undang-undang dan peraturan perundang-undangan.
Pendirian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menjadi langkah bersejarah bagi sistem peradilan di Indonesia. Lembaga ini dipercaya untuk memastikan kepatuhan terhadap konstitusi, menjadi penjaga hak-hak dasar warga negara, dan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sejak awal berdiri, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar. Para hakim konstitusi yang ditunjuk haruslah memiliki integritas tinggi dan kapasitas hukum yang memadai, mengingat tugas mereka yang begitu berat dalam menafsirkan dan memutuskan konstitusi. Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terus bertumbuh dan beradaptasi, memperkuat lembaga dan regulasi guna meningkatkan kualitas keputusan dan ketegasan pelaksanaan.
Seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terus berupaya memperkuat peran dan fungsi sebagai lembaga penegak keadilan konstitusi yang modern dan responsif. Berbagai langkah inovatif diterapkan, termasuk penggunaan teknologi informasi dan aksesibilitas daring bagi publik, guna mendekatkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan rakyat Indonesia yang semakin sadar akan pentingnya keadilan dan supremasi hukum.
Sebagai penjaga keadilan dan keberanian dalam mewarnai sejarah peradaban Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tetap tegak kokoh di puncak prinsip konstitusional. Dalam jejaknya yang berliku, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan terus menjadi cahaya penerang bagi masa depan bangsa, menjaga keutuhan konstitusi, dan mewujudkan visi keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia.
Diusianya yang telah menginjak dua dekade, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membuktikan diri sebagai salah satu pilar penting dalam membangun dan memperkuat fondasi demokrasi di negara ini. Dengan komitmen dan dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia, MK diharapkan akan terus berjalan di jalur yang benar, menghadapi tantangan masa depan, dan tetap menjadi penjaga konstitusi dan penguat demokrasi yang tangguh.
No Viral No Justice dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, keadilan sering kali berada di garis depan pemberitaan. Dalam beberapa waktu terakhir, fenomena "No Viral, No Justice" telah menarik perhatian publik Indonesia. Kisah-kisah yang viral di media sosial sering kali memicu tuntutan keadilan dan perhatian besar dari masyarakat. Tapi, bagaimana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menjawab tantangan ini?
Fenomena "No Viral, No Justice" sering kali dimulai dengan sebuah berita mengenai sesuatu yang kontroversial beredar luas di media sosial. Berita tersebut berpotensi mengguncangkan hati atau kejadian yang memicu atensi khalayak ramai. Dalam sekejap, ribuan bahkan jutaan orang mengakses berita tersebut dan mengekspresikan berbagai macam emosi seperi amarah, kekesalan, kekecewaan, dan tuntutan keadilan.
Namun, di balik viralnya sebuah berita, tersembunyilah banyak fakta yang kompleks dari kejadian yang terekam dalam berita tersebut. Fakta-fakta yang sesungguhnya mungkin lebih rumit dan memerlukan kajian yang lebih mendalam. Inilah tantangan bagi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menyikapi fenomena "No Viral, No Justice".
Salah satu kasus yang mencuat ke permukaan adalah pernyataan Denny Indrayana yang mengklaim telah mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang sistem pemilu 2024. Klaim sepihak tersebut dengan cepat menjadi viral dan mendapatkan sorotan publik. Masyarakat menuntut klarifikasi baik dari Denny Indrayana maupun respon dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dengan tegas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa keputusan mutlak berada di tangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kegaduhan tersebut sedikit teredam ketika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengumumkan putusan sistem pemilu 2024 yang ternyata sangat berbeda dengan klaim Denny Indrayana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bukanlah permainan emosi atau popularitas. Para hakim konstitusi harus berpegang teguh pada prinsip keadilan, supremasi hukum, dan mekanisme peradilan yang sesuai. Para hakim konstitusi harus menyadari bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada fakta dan bukti yang kuat, bukan hanya karena tekanan dari sorotan media sosial.
Selain itu, dalam menghadapi fenomena ini Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak dapat mengabaikan pentingnya partisipasi masyarakat. Proses peradilan haruslah transparan dan dapat dipahami oleh publik sehingga tidak menimbulkan salah persepsi pada masyarakat luas.
Namun, tantangan lain muncul ketika viralnya sebuah kasus dapat mempengaruhi opini publik dan memberikan tekanan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Apakah lembaga ini mampu menjaga independensinya dan tetap berdiri teguh di atas keadilan, ataukah terpengaruh oleh opini massa?
Para hakim konstitusi haruslah berani menghadapi tekanan dari berbagai pihak dan mempertahankan keberpihakan pada nilai-nilai konstitusi dan supremasi hukum. Semua keputusan yang diambil harus didasarkan pada pertimbangan hukum yang kuat dan memastikan perlindungan hak-hak dasar warga negara.
Fenomena "No Viral, No Justice" menuntut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk terus berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Lembaga ini harus mengintegrasikan teknologi informasi dalam proses peradilannya, agar masyarakat dapat mengikuti sidang-sidang penting dan mendapatkan informasi yang kredibel tentang perkembangan kasus.
Melalui pendekatan yang holistik dan kolaboratif, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat menjembatani kesenjangan antara kasus viral dan keadilan yang sebenar-benarnya. Dalam sebuah era di mana media sosial menjadi pusat perhatian, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus mampu menghadapi tantangan tersebut dengan kepala dingin dan prinsip keadilan yang tak tergoyahkan.
Tak diragukan lagi, fenomena "No Viral, No Justice" telah membuka babak baru dalam peran media sosial dan pengaruhnya terhadap proses keadilan di Indonesia. Melalui kerja keras, transparansi, dan integritas, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus terus menjadi garda terdepan dalam penegakan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H