Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Guru Alami Burnout di Masa Pandemi, Pantaskah Diberi Rapor Merah oleh Atasan?

17 Mei 2021   10:20 Diperbarui: 17 Mei 2021   23:35 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih dari satu tahun kita masih saja bergelut dengan pandemi Covid-19. Selama ini pula pembelajaran di semua tingkat pendidikan dilaksanakan dari rumah, yaitu secara daring. 

Dalam situasi ini guru dituntut untuk bisa menggunakan sarana belajar daring seperti laptop dan gadget atau HP. Mereka dituntut untuk merancang materi-materi belajar yang tidak memberatkan siswa agar siswa mudah menguasai kompetensi yang sudah digariskan dalam kurikulum masa transisi. 

Agar pembelajaran menarik dan bervariatif, guru diharapkan kreatif dalam merancang model dan teknik belajar; menggunakan aplikasi multimedia, seperti pembuatan video pembelajaran kreatif. 

Di samping itu, guru diharapkan oleh sekolah untuk selalu memantau kehadiran dan keaktivan siswa setiap kali pembelajaran. 

Siswa yang tidak ikut dalam pembelajaran harus dicari tahu alasannya. Siswa tersebut dihubungi untuk mengerjakan tugas yang diberikan dalam kelas. 

Guru juga diminta untuk selalu berkomunikasi dengan orangtua atau wali perihal persoalan yang dihadapi siswa di kelas, semuanya harus dilakukan secara daring.

Pembelajaran daring dengan berbagai tuntutan seperti ini akhirnya menimbulkan burnout dan ragam masalah lain pada guru, seperti:

Sekilas Burnout 
Burnout, menurut Herbert J. Freudenberger, seorang psikolog Amerika, sebagaimana dikutip oleh Juster Donal Sinaga, M. Pd., Dosen sekaligus Konselor Inti pada Pusat Layanan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam suatu webinar, didefinisikan sebagai sindrom psikologis yang melibatkan kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya rasa pencapaian pribadi yang terjadi pada pekerja profesional yang bekerja dengan orang lain dalam situasi kerja yang menantang.

Kelelahan Emosional, Depersonalisasi, dan Rendahnya Penghargaan Diri Sendiri

Kelelahan Emosional
Kelelahan emosional adalah suatu keadaan, di mana seseorang merasa lelah secara emosi sehingga ia kehilangan kepercayaan kepada orang lain dan kehilangan semangat pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena tuntutan pekerjaan yang berlebihan dari pihak lain.

Depersonalisasi
Depersonalisasi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan munculnya tindakan-tindakan atau perilaku memperlakukan orang seperti barang. Ia hendak membangun jarak dengan orang lain dalam lingkup pekerjaannya.

Rendahnya Penghargaan Diri Sendiri
Pada aspek burnout ini seseorang merasa tidak puas terhadap diri sendiri; tidak puas terhadap pekerjaan serta kehidupannya. Bahkan muncul perasaan mempersalahkan dirinya seakan-akan ia belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam hidupnya. 

Adapun dampak burnout jika tidak ditangani dengan serius dapat menurunnya motivasi dan prestasi kerja, kesulitan berpikir, kesehatan fisik terganggu, tidak berdaya, serta terganggunya hubungan antarpribadi.

Rapor Merah bagi Guru?

Apabila guru mengalami sindrom burnout di atas, pantaskah diberi rapor merah oleh pihak atasannya, seperti kepala sekolah atau yayasan?

Permasalahan burnout pada guru ini musti dipandang secara komprehensif. Artinya, permasalahan ini sebaiknya dipandang dari berbagai perspektif, sehingga tidak serta merta menilai bahwa guru tersebut sudah tidak sanggup lagi mengajar. 

Berikut beberapa hal perlu dipertimbangkan oleh pihak atasan dalam menghadapi guru yang burnout.

Mendudukan burnout sebagai persoalan bersama
Sindrom burnout adalah keadaan yang bisa dialami siapa saja. Apalagi dalam situasi pandemi Covid-19, setiap orang diharuskan untuk bekerja dari rumah. 

Setiap orang mengerjakan tugasnya dalam keterbatasan sarana. Selain itu, terbatasnya ruang gerak untuk saling membagikan pengalaman, saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dirasa sulit.

Begitu halnya guru. Ia terpaksa bekerja dari rumah, melaksanakan pembelajaran di kelas secara daring. Begitu banyak persoalan yang ia alami, baik persoalan pribadi maupun persoalan pembelajaran. Singkatnya, situasi lah yang menjadikan seorang guru mengalami burnout.

Kemampuan menggunakan teknologi pembelajaran
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi telah mengharuskan guru untuk menggunakan teknologi pembelajaran. 

Masalahnya adalah belum semua guru mampu menggunakan sarana-sarana belajar yang menggunakan internet. Guru belum siap menggunakannya. Terlebih lagi guru-guru yang masuk dalam golongan guru senior. Mereka masih gagap teknologi, sementara di satu sisi mereka wajib menggunakannya. 

Dengan penuh daya upaya ia harus belajar menggunakan platform pembelajaran seperti Google Classroom, Zoom Meeting, Quipper School, Google Meet, dan Ruang Guru. Ditambah lagi masalah pekerjaan siswa yang tercecer ke mana-mana karena seringkali meng-uploadnya tidak sesuai dengan petunjuk. Termasuk juga hasil tangkapan layar pekerjaan siswa yang kabur atau tidak jelas dibaca atau atau dilihat.

Maka, tidak mengherankan jika ada guru yang cenderung mengirimkan tugas melalui WA grup mata pelajaran, atau cenderung menggunakan Google Classroom. 

Faktor eksternal 
Burnout pada guru juga disebabkan oleh faktor siswa. Pembelajaran daring juga telah menimbulkan burnout pada diri siswa. Melalui media sosial kita mengetahui berbagai persoalan belajar siswa di rumah. Persoalan datang dari orang tua, juga datang dari siswa sendiri.

Orangtua mengeluhkan keterbatasan sarana belajar hingga efektivitas belajar anaknya. Terkait keterbatasan sarana belajar, keluhan berkisar pada keterbatasan kuota internet, kurang atau tidak adanya laptop atau HP yang up to date untuk mendukung pembelajaran.

Dalam hal efektivitas belajar, muncul keluhan bahwa anak susah diatur; anak cenderung bermain game online daripada belajar online. Siswa susah dibangunkan di pagi hari untuk mengikuti belajar di kelas.

Siswa sendiri juga mengeluhkan persoalan belajarnya kepada guru Bimbingan Konseling (BK) atau kepada guru mata pelajaran. Siswa bosan belajar di rumah. 

Siswa kurang memahami materi yang disampaikan oleh guru. Metode dan teknik penyampaian materi oleh guru yang monoton, tidak menarik, tidak variatif, dan lain-lain. 

Semua persoalan di atas jelas menimbulkan burnout pada diri siswa. Burnout siswa menjadi pemicu burnout pada diri guru. 

Faktor hubungan antar pribadi guru dengan atasan
Persoalan hubungan kurang harmonis antara guru dengan atasan -- kepala sekolah dalam hal ini-- kemungkinan terjadi di sekolah manapun. Namun, ketika berhadapan dengan guru yang burnout, sangat diharapkan sikap bijaksana dari kepala sekolah. 

Jangan sampai karena masalah suka tidak suka, guru tersebut diberi rapor merah. Sebaliknya, persoalan ini mesti ditempatkan dalam konteks pembelajaran daring sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Bahwa burnout merupakan gejala umum yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. 

Usaha untuk mengolah burnout
Burnout pada guru tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sekolah hendaknya berupaya mengatasinya dengan mengundang pakar pendidikan atau pakar psikologi untuk memberi kesempatan kepada guru untuk menggali penyebab-penyebab burnout, kemudian memberikan solusi untuk mengatasinya. 

Dengan begitu, guru diharapkan bangkit dari keterpurukannya. Ia akan tampil kembali sebagai guru yang profesional. Profesional dalam mengajar, profesional dalam mengelola kepribadian, dan profesional dalam berelasi dengan siswa, sesama guru, orang tua dan dengan orang lain di sekitarnya.

Mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi bahwa sindrom burnout dialami oleh siapa saja termasuk guru. Apalagi dalam masa pandemi Covid-19 ini. 

Maka, persoalan guru yang burnout hendaknya dipandang secara komprehensif, bukan sepotong-sepotong. Tidak bijak seorang guru diberi rapor merah. Sebaliknya, sekolah mencari solusi agar guru dapat mengolah burnout-nya sehinga kebali tampil sebagai guru yang profesional di mata siswa dan orang tua. 

Semoga!

Jakarta, 1705021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun