Dalam sekolah anak didik dibantu oleh para guru untuk memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai hidup yang terintegrasi dalam proses pembelajaran, yaitu pada Kompetensi Inti (KI) 1 dan KI 2. KI 1 menyangkut aspek spiritual dan KI 2 menyangkut aspek sosial.Â
Dalam masyarakat anak didik menerapkan nilai-nilai hidup yang sudah dipelajari dan dibiasakan di rumah dan di sekolah. Selain itu, anak didik sebagai warga masyarakat juga belajar dari perilaku berbahasa berbagai golingan masyarakat termasuk politisi dan pejabat penerintahan melalui media sosial.
Sayangnya, pendidikan nilai kepada anak, dalam hal ini nilai sopan santun berbahasa berjalan pincang. Penggunaan bahasa yang tidak santun oleh public figur telah memperlihatkan pendidikan santun berbahasa adalah urusan keluarga dan sekolah. Padahal proses pembelajaran bahasa dalam masyarakat terbentang lebar. Tidak seperti pembelajaran di rumah atau di sekolah yang berlangsung dalam pengawasan orangtua dan guru.
Ternyata santun berbahasa Indonesia gampang-gampang susah. Gampang-susahnya sangat tergantung pada beberapa hal berikut.
Konteks Pembicaraan
Berbahasa atau komunukasi pada umumnya selalu berlangsung dalam konteks. Konteks artinya situasi yang menyertai pembicaraan kita. Konteks itu meliputi: (1) Setting ( tempat berbicara dan suasana), (2) Participant (pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, langsung maupun tidak langsung), (3) goal (tujuan pembicaraan), (4) key (ragam bahasa yang digunakan), dan (5) Norm (aturan dan santun dalam berbicara). Di sini lah kekurangan para public figure, berpendapat di media sosial dengan tidak memperhatikan konteks norma sopan santun berbahasa.
Kurangnya Kontrol Diri
Ketika seseorang berpendapat di depan masssa melalui media sosial, ia lupabdiri. Ia tidak menyadari bahwa bahasa atau pernyataannya tersebut didengar atau dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk anak didik. Dengan nenggunakan bahasa (kata-kata tidak sopan), ia telah memberi contoh negatif terhadap anak didik yang tersebar di seluruh negeri ini.
Dalam konteks ini, kita, khususnya public figur, perlu mengasah kembali kecerdasan emosionalnya. Ia perlu mengolah emosi dengan benar sehingga mampu dituangkannya dalam bahasa yang benar dan santun pula. Karena kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Ia akan pincang jika tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
Kesimpulan
Penggunaan bahasa Indonesia yang santun adalah kewajiban kita semua sebagai warga bangsa. Kita tentunya paham bahwa "Bahasa menunjukkan bangsa". Marilah kita bersama-sama mendidik anak bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan santun. Bukan hanya tugas orangtua dan guru, melainkan juga para public figure. Marilah kita bekerja sama dalam menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat, bangsa yang santun.
Jakarta, 0209020