Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Public Figure dan Santun Berbahasa Indonesia

2 September 2020   10:08 Diperbarui: 2 September 2020   10:09 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santun Berbahasa Indonesia (dokpri)

Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya begitu kecewa mendengar kata-kata kasar keluar dari mulut public figure, seperti politisi dan tokoh agama. Kekecewaan saya ini bukan tidak berdasar. Kami, guru Bahasa Indonesia mengemban tugas negara untuk mengajarkan dan mendidik anak-anak bangsa ini agar memiliki kompetensi berbahasa Indonesia, khususnya berkaitan nilai-nilai hidup. Ironisnya, para public figure justru mempertontonkan kepada masyarakat, termasuk anak didik penggunaan bahasa Indonesia yang tidak santun. Pertanda apakah ini?

Dalam tulisan saya mencoba memberikan beberapa pemikiran hubungan penggunaan bahasa Indonesia public figure dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di lembaga pendidikan formal.

Santun Berbahasa Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "santun" artinya  1 halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; 2 penuh rasa belas kasihan; suka menolong. Bahasa yang santun artinya bahasa yang halus, sopan dan tidak digunakan untuk mengina orang lain.

Bagaimana kita bisa menilai bahwa bahasa seseorang itu dikatakan halus atau sopan? Dasarnya adalah efek bahasa tersebut bagi orang lain yang membaca atau mendengarnya. 

Bahasa yang halus atau sopan adalah bahasa yang bernilai rasa positif, sebaliknya bahasa yang kasarbatau tidak sopan bernilai rasa negatif. Bahasa dikatakan bernilai rasa positif apabila pendengar atau pembaca merasa senang, merasa dihargai, merasa tersanjung. Sebaliknya, bernilai rasa negatif apabila bahasa y angbkita gunakan menimbulkan ketersinggunhan, kemarahan, kekecewaan di hati pembaca atau pendengar.

Kami sebagai guru bahasa Indonesia merasa kecewa dengan bahasa public figure saat ini, seperti kata bacot, tolol, dungu. Mengapa?

Pendidikan Santun Berbahasa yang Pincang

Sebagaimana kita ketahui, pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat. Proses pendidikan berlangsung dalam tiga tempat, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. 

Dalam keluarga pendidikan melibatkan peran serta orangtua. Orangtua berperanan menanamkan dan membiasakan anak-anaknya memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai hidup, termasuk nilai sopan santun dalam interaksi bersama. Melalui bahasa, anak-anak belajar berbahasa secara santun, baik bahasa verbal maupun nonverbal. 

Dalam sekolah anak didik dibantu oleh para guru untuk memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai hidup yang terintegrasi dalam proses pembelajaran, yaitu pada Kompetensi Inti (KI) 1 dan KI 2. KI 1 menyangkut aspek spiritual dan KI 2 menyangkut aspek sosial. 

Dalam masyarakat anak didik menerapkan nilai-nilai hidup yang sudah dipelajari dan dibiasakan di rumah dan di sekolah. Selain itu, anak didik sebagai warga masyarakat juga belajar dari perilaku berbahasa berbagai golingan masyarakat termasuk politisi dan pejabat penerintahan melalui media sosial.

Sayangnya, pendidikan nilai kepada anak, dalam hal ini nilai sopan santun berbahasa berjalan pincang. Penggunaan bahasa yang tidak santun oleh public figur telah memperlihatkan pendidikan santun berbahasa adalah urusan keluarga dan sekolah. Padahal proses pembelajaran bahasa dalam masyarakat terbentang lebar. Tidak seperti pembelajaran di rumah atau di sekolah yang berlangsung dalam pengawasan orangtua dan guru.

Ternyata santun berbahasa Indonesia gampang-gampang susah. Gampang-susahnya sangat tergantung pada beberapa hal berikut.

Konteks Pembicaraan

Berbahasa atau komunukasi pada umumnya selalu berlangsung dalam konteks. Konteks artinya situasi yang menyertai pembicaraan kita. Konteks itu meliputi: (1) Setting ( tempat berbicara dan suasana), (2) Participant (pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, langsung maupun tidak langsung), (3) goal (tujuan pembicaraan), (4) key (ragam bahasa yang digunakan), dan (5) Norm (aturan dan santun dalam berbicara). Di sini lah kekurangan para public figure, berpendapat di media sosial dengan tidak memperhatikan konteks norma sopan santun berbahasa.

Kurangnya Kontrol Diri

Ketika seseorang berpendapat di depan masssa melalui media sosial, ia lupabdiri. Ia tidak menyadari bahwa bahasa atau pernyataannya tersebut didengar atau dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk anak didik. Dengan nenggunakan bahasa (kata-kata tidak sopan), ia telah memberi contoh negatif terhadap anak didik yang tersebar di seluruh negeri ini.

Dalam konteks ini, kita, khususnya public figur, perlu mengasah kembali kecerdasan emosionalnya. Ia perlu mengolah emosi dengan benar sehingga mampu dituangkannya dalam bahasa yang benar dan santun pula. Karena kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Ia akan pincang jika tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional dan spiritual.

Kesimpulan

Penggunaan bahasa Indonesia yang santun adalah kewajiban kita semua sebagai warga bangsa. Kita tentunya paham bahwa "Bahasa menunjukkan bangsa". Marilah kita bersama-sama mendidik anak bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan santun. Bukan hanya tugas orangtua dan guru, melainkan juga para public figure. Marilah kita bekerja sama dalam menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat, bangsa yang santun.

Jakarta, 0209020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun