Mohon tunggu...
Paul Ama Tukan
Paul Ama Tukan Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores

Menulis adalah Bekerja Untuk Keabadian

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Demokritik, Sajak -Sajak Paul Ama Tukan

21 Oktober 2019   21:09 Diperbarui: 22 Oktober 2019   20:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sajak-Sajak  Paul Ama Tukan


Demokritik

Hari ini, hujan rintik sepanjang hari.
Hujan bulan ini, menyimpan suatu rahasia di sudut kepalaku
Bulir-bulir hujan itu tempias melukis pelangi di pelataran mataku dengan tinta paling garang.
Ia mengerti sangat sedikit tentang air mata yang tabah berderai di jalanan kota
Ia tidak tahu seberapa cepat lajur ingatan yang ditumpahkan hanya pada buku dan gedung-gedung kampus.
Mengerti saja terasa susah apalagi membuatkan sebait kata-kata untuk dihadiahkan kepada kebenaran yang tidak ada tuannya.
"Aku sangat paham dengan keadaanmu sekarang, ketika kau hanya terlanjur menjahit asamu dengan sejenis kepasrahan yang paling sulit mengalah. Aku sangat mengerti tatkala perih jadi kisah dalam kerumunan manusia yang menamakan diri mereka pejuang ingatan. Sebab sangat sulit  menatang kisah yang lama telah diraih namun singkat dicemari."
Hujan bulan ini pun berderai, menumpahkan sakit kepala paling kepalang.
Bulir-bulirnya tempias di pelataran mataku. Aku menadah hujan itu sambil mengaca dengan saksama pada beningnya. Kulihat segerombolan besar pendemo membawa kayu dan batu, melempar mataku lalu meludahiku dengan keji seolah-olah aku orang asing di negri sendiri.
Seketika ingatanku tumpah berserak di jalanan, remuk dan tidak kutemukan lagi wajahnya seperti apa. Tak ada satupun yang membantu, kecuali hujan bulan ini. Ia membawaku pada sebuah ruang tunggu. Di sana orang bergegas antri untuk bersolek tentang luka yang sedang mereka derita.
Hujan bulan ini, terima kasih. Hujan bulan ini, kasihmu kuterima. Walaupun tidak sedikit orang yang menerima mengapa kau kunamakan hujan bulan ini. Terlampau lama orang berkelahi tanpa tahu bagaimana berkaca pada sejarah yang telah lama menunggu. Yang telah memberi teduh bagi panas amarah hari ini.
Hujan bulan ini;"Air mata yang tumpah dari mereka yang sedang berkaca pada sejarah".
Esok ia akan pergi dengan bahan bakar air mata.


Ledalero, 2019

Di Taman Kota

Orang membawa keanehannya dan memamerkannya di tengah kota.
Di situ hidup segerombol orang sinting yang bermain sendiri dengan bayangan tubuhnya.
Meliuk ke arah dunia yang tak dikenal orang lain. Tertawa, tidak mengerti dan malu, demikian seterusnya.
Orang-orang yang datang ini telah menanggalkan alas kaki mereka dan hidup secara leluasa di dunia baru. Kini, kita tak melihat lagi orang bercengkrama atau menenun kata dengan kepala dingin.
Sebab kota telah menjadi candu bagi siapa saja yang tak mengerti siapa dirinya.


Ledalero, 2019

zinah

Di ujung pena, para pembelajar mencatat derita.
Mengerti mengapa harus diciptakannya ilmu.
Kala itu, mereka berontak tentang ingatan yang dipangkas paksa.
Mereka sangat  mampu berpikir dengan kepala tapi tak sekalipun menyampaikan selamat beristirahat bagi kepala.
Turun ke jalan-jalan sambil memeras kata
Dan ramai-ramai mengantarnya ke rumah kepala
Di situ kepala-kepala bersileweran; kepala dingin, besar kepala, kepala kantor, kepala politik, kepala uang, kepala biro, kepala gundul dan kepala-kepala lain;
Yang pemilknya telah menjadi patung.

Ledalero,  September 2019

AMNESIA

Suatu waktu yang tak biasa, aroma marahmu menyeruap dari balik kelambu.
Telah kupasang tiang-tiang penyanggah yang mengamankan tidurku pada ranjang malam
Setelah hari ini kupulang dari kota menangkap amis tanah.
Bantal dan selimut dimusuhi kutu dan debu, membandel pada rambutku
seolah-olah cuek paling senewen yang tak ingin tanggal.
"Ibu, belikan aku sabun agar bisa kubersihkan sekujur tubuhku dengan baik"
Ibu masih sibuk membereskan barang dagangannya untuk dipasarkan di kampung bernama Kampoeng Khamprett.
 Ia masih memarahiku sejak kemarin karena bahasa Indonesiaku kurang bernas. Dan aku memang sadar itu. Tapi aku kira, ia tak punya alasan untuk memarahiku sampai lama begini.
Malam ini, aku pun tidur dengan badan kotor, dan bermimpi tentang surga.
Kujumpai seorang digantung tanda busana. Kemaluannya tidak ada. Badannya degil tetapi ia tersenyum lalu membilang; surga ini milik siapa?

Ledalero, Agustus 2019


Paul Ama Tukan, lahir pada 7 Mei 1998 di Waiwerang, Adonara. Saat ini Tinggal di Unit Mikhael,  Ledalero. Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flores-NTT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun