Mohon tunggu...
Paul SinlaEloE
Paul SinlaEloE Mohon Tunggu... Aktor - Aktivis Anti Korupsi - Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakryat (PIAR NTT)

Aktivis Anti Korupsi - Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakryat (PIAR NTT)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perlindungan Pekerja Migran

26 Mei 2019   07:15 Diperbarui: 14 Agustus 2019   15:42 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN

Oleh. Paul SinlaEloE -- Aktivis PIAR NTT

Tulisan ini Pernah di Publikasikan dalam http://www.zonalinenews.com/2019/05/perlindungan-pekerja-migran/, Pada Tanggal 25 Mei 2019.

 

Segenap bangsa Indonesia pada dasarnya memberi apresiasi atas hadirnya UU No. 18 Tahun 2017, tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI), karena telah membawa paradigma baru dalam perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI). UUPPMI yang disahkan diundangkan pada tanggal 22 November 2017, dalam LN RI Tahun 2017 Nomor 242, tambahan LN RI Nomor 6141 ini, tidak lagi berorientasi pada peningkatan produktivitas dan daya saing melalui optimalisasi pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja, melainkan sudah mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi dari PMI sebagai manusia dan warga Negara.

Paradigma baru dalam UUPPMI, tergambar juga pada subjek perlindungannya yang tidak hanya terbatas pada Calon PMI dan/atau PMI, namun juga sudah mengatur tentang jaminan perlindungan terhadap hak keluarga dari PMI sebagaimana yang dimandatkan dalam Konvensi PBB 1990, tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Bahkan perlindungan untuk Calon PMI dan/atau PMI dan kelurgnya, dilakukan mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi, dan sosial.

Aspek integral, sinergitas dan koordinasi pada setiap level pemerintahan dalam kerja-kerja pelayanan penempatan dan perlindungan bagi Calon PMI dan/atau PMI, merupakan bagian dari paradigma baru yang terdapat dalam UUPPMI. Keterpaduan dan sinergitas ini dijabarkan dalam pembagian tugas dan tanggungjawab.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 39 UUPPMI, tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal perlindungan PMI adalah: a. Mendistribusikan informasi dan permintaan PMI kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Pemerintah Daerah provinsi; b. Menjamin Perlindungan Calon PMI dan/atau PMI dan keluarganya; c. Mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan; d. Menjamin pemenuhan hak Calon PMI dan/atau PMI dan keluarganya;

e. Membentuk dan mengembangkan sistem informasi terpadu dalam penyelenggaraan penempatan dan Perlindungan PMI; f. Melakukan koordinasi kerja sama antar instansi terkait dalam menanggapi pengaduan dan penanganan kasus Calon PMI dan/atau PMI; g. Mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan PMI bermasalah; h. Melakukan upaya untuk menjamin pemenuhan hak dan Perlindungan PMI secara optimal di negara tujuan penempatan;

i. Menyusun kebijakan mengenai Perlindungan PMI dan keluargan; j. Menghentikan atau melarang penempatan PMI untuk negara tertentu atau pada jabatan tertentu di luar negeri; k. Membuka negara atau jabatan tertentu yang tertutup bagi penempatan PMI; l. Menerbitkan dan mencabut Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI); menerbitkan dan mencabut Surat lzin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI); m. Melakukan koordinasi antar instansi terkait mengenai kebijakan Perlindungan PMI; n. mengangkat pejabat sebagai atase ketenagakerjaan yang ditempatkan di kantor Perwakilan Republik Indonesia atas usul Menteri; dan o. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon PMI melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.

Tugas dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi, terkait dengan perlindungan PMI diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 40 UUPPMI yaitu: a. Mendistribusikan informasi dan permintaan PMI dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; b. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; c. Mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan PMI bermasalah sesuai dengan kewenangannya; d. Menerbitkan izin kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI); e. Melaporkan hasil evaluasi terhadap PPPMI secara berjenjang dan periodik kepada Menteri;

f. Memberikan Perlindungan PMI sebelum bekerja dan setelah bekerja; menyediakan pos bantuan dan pelayanan di tempat pemberangkatan dan pemulangan PMI yang memenuhi syarat dan standar kesehatan; g. Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon PMI melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; h. Mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan PMI; dan i. Dapat membentuk Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) penempatan dan Perlindungan PMI di tingkat Provinsi.

Dalam melaksanakan perlindungan bagi Calon PMI dan/atau PMI dan kelurgnya, Pemerintah Kabupaten/Kota harus menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan amanat Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 41 UUPPMI, yakni: a. Melakukan sosialisasi informasi dan permintaan PMI kepada masyarakat dengan melibatkan aparat Pemerintah Desa; b. Membuat basis data PMI; c. Melaporkan hasil evaluasi terhadap PPPMI secara periodik kepada Pemerintah Daerah Provinsi; d. Mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan PMI bermasalah sesuai dengan kewenangannya;

e. Memberikan Perlindungan PMI sebelum bekerja dan setelah bekerja di daerah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas dan kewenangannya; f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja kepada Calon PMI yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; g. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja di Kabupaten/Kota;

h. Melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi PMI dan keluarganya; i. Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon PMI melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; j. Mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan PMI; dan k. Dapat membentuk LTSA penempatan dan Perlindungan PMI di tingkat Kabupaten/Kota.

Menurut Pasal 42 UUPPMI, tugas dan tanggungjawab Pemerintah Desa dalam kaitanannya dengan perlindungan terhadap PMI adalah: a. Menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; b. Melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon PMI; c. Memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon PMI; d. Melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan PMI; dan e. Melakukan pemberdayaan kepada Calon PMI, PMI, dan keluarganya.

Cacat Bawaan UUPPMI

Walaupun ada perubahan paradigma terkait dengan perlindungan bagi PMI, tetapi harus diingat bahwa UUPMI adalah produk hukum yang dihasilkan oleh politisi yang “bergerombol” di parlemen. Artinya, UUPPMI tentu bukan produk ideal dan sempurna. Apalagi UUPMI lahir dari proses dan negoisasi politik yang panjang hingga produk finalnya.

Buktinya, UUPPMI masih menyimpan sejumlah kelemahan substantif, diantaranya: Pertama, penandatanganan perjanjian kerja masih belum jelas diatur apakah termasuk dalam layanan di LTSA. Selain itu, isi perjanjian kerja yang dimandatkan dalam UUPPMI belum memastikan mekanisme keberlakuan perjanjian kerja di 2 (dua) negara atau hanya di satu negara saja serta penyelesaiannya sengketanya.

Kedua, meskipun asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) swasta telah diganti dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, namun jaminan sosial bagi PMI yang ditanggung oleh BPJS belum mencakup resiko yang dialami oleh PMI, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan gaji tidak dibayar; Ketiga, terkait sanksi pidana yang meskipun telah mengatur tidak hanya untuk orang peorangan tetapi juga pejabat publik, namun sanksi pidana yang ada belum mencantumkan hukuman minimal tapi lebih kepada hukuman masksimal, sehingga penjatuhan sanksi tergantung pada subyektifitas hakim dalam memberikan putusan.

Keempat, bantuan hukum dalam UUPMI tidak diatur dalam Bab khusus, sehingga tidak detail dan jelas bagaimana cara mengaksesnya, lembaga mana yang harus dituju, mekanisme penanganan kasus, berapa lama penyelesaian kasusnya dan apakah pemerintah daerah dilibatkan dalam penanganan kasusnya serta bagaimana koordinasi penanganan kasus ditingkat daerah dan pusat. Padahal, bantuan hukum bagi PMI merupakan salah satu perwujudan negara hadir untuk melindungi PMI.

Keseluruhan kelemahan substantif yang terdapat dalam UUPMI, memunjukan bahwa perlindungan PMI masih tetap belum optimal. Apalagi, sistem penempatan pekerja migran ke Luar Negeri yang didesain oleh para pengambil kebijakan, belum banyak berubah dan selalu merentankan PMI menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (TPPM). Hal ini diperparah lagi dengan kinerja dari para aparatus negara pada semua level pemerintahan mulai dari Pusat hingga Desa beserta jaringan terkaitnya (BNP2TKI/BP3TKI, APJATI, Gugus Tugas Anti Trafficking dan Satgas Anti Trafficking) yang tidak mampu melakukan pencegahan terjadinya TPPO dan TPPM.

Bahkan para aparatus yang ditugaskan oleh negara untuk menata sistem pengelolaan ketenagakerjaan, masih terkesan tetap membiarkan berjalannya sistem pengelolaan ketenagakerjaan yang buruk, mulai dari  proses rekrutmen, pra penempatan, penempatan sampai dengan purna penempatan. Buruknya perlindungan bagi PMI sejak sebelum bekerja (pendaftaran sampai pemberangkatan), selama bekerja (selama PMI dan anggota keluarganya berada di luar negeri) dan setelah bekerja (mulai dari tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah asal, termasuk pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif) adalah fakta  ‘telanjang’ atas proses pembiaran dimaksud.

Problematika terkait perlindungan PMI yang merupakan cacat bawaan dari UUPMI ini, perlu dicari jalan keluar terkait dengan implementasinya. Jalan keluarnya tidak semudah politisi parlemen melakukan delegated legislation pada Peraturan Pelaksana (verordnung) dan Peraturan Otonom (autonome satzung) yang merupakan Peraturan-Peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. Apalagi, sumber wewenang dari keduanya adalah berbeda. Peraturan Pelaksana (verordnung) bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom (autonome satzung) bersumber dari kewenangan atribusi. Pertanyaannya adalah apa yang harus dikerjakan oleh semua komponen bangsa dalam mengimplementasikan UUPMI demi terlindunginya PMI?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun