Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Natal 2024: Toleransi Tidak Hanya Seremoni

29 Desember 2024   09:25 Diperbarui: 29 Desember 2024   09:25 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi: Ruang Guru.com

Belajar dari Natal 2024: Toleransi Tidak Hanya Seremoni

Merayakan Natal kemarin, sedikit terusik dengan kedatangan pejabat Forkopimda, sesaat sebelum Misa berlangsung. Jadwal Perayaan Ekaristi pukul 17.00, dan mereka datang pukul 16.55.  Hal yang sangat penting bagi mereka, sebagai sebuah bentuk wujud toleransi.   Apakah sekadar demikian?

Beberapa ha menarik untuk dilihat lebih mendalam,

Pertama, waktu kedatangan. Lima menit masih lebih bagus, dari pada di tengah-tengah Misa, sebagaimana pejabat di sebuah kota pada masa  lalu. Namun, jauh lebih bijaksana adalah 30 menit lebih awal, mengapa? Itu adalah memasuki masa hening, umat atau Jemaah, atau jemaat sudah akan memasuki ruang batin dalam beribadat.

Tidak dalam konteks waktu untuk seremoni, mendengarkan ceramah atau pidato singkat sekalipun. Terlebih isinya jauh dari apa yang mau dirayakan. Pemilihan waktu yang tidak bijaksana. Pejabat tahun-tahun sebelumnya, tidak resmi, mengucapkan dengan biasa, menyalami biasa, saya pribadi tidak merasa terganggu, malah lebih respek.

Kedua, isi dari sambutan, bicara mengenai capaian pemerintah kota, keberadaan sebagai salah satu kota tertoleran, malah ada juga mengenai pilkada dan prestasi lainnya. Jauh dari esensi Natal itu sendiri. Kan bisa bicara dengan stafnya, apa yang mau disampaikan sehingga kontekstual sekaligus juga memberikan apresiasi dan dukungan untuk jemaat sekaligus jajaran pemerintahan.

Misalnya, mengenai toleransi. Ucapan dan kehadiran itu bagus, namun tidak penting, ketika ada diskriminasi, kesulitan ini dan itu. Hal yang jauh lebih mendasar, tidak sekadar seremonial atau sambutan yang tidak mendasar, atau kasarnya remeh-temeh.

Ketiga, penyebutan yang ngawur. Memperlihatkan lemahnya pengetahuan akan keberadaan agama lain. Menyapa Rama dan para pendeta, padahal pejabat ini jelas generasi PMP. Mereka tentu paham bedanya rama atau pastor dan pendeta. Di Gereja Katolik kog rama dan   para pendeta. Pendeta tentu di Gereja Kristen selain Katolik.

Masak ada rama dan pendeta di komunitas yang sama. Lagi-lagi memperlihatkan pengetahuan dasar saja lemah. Kan bisa bertanya dan berkonsultasi pada stafnya yang beragama sama dengan yang mau dikunjungi. Menyapa dengan tepat, apalagi nama akan merasa dihargai. Jauh lebih mendasar dari sekadar kehadiran seremonial, malah cenderung seperti jadi obyek atau alat semata.

Keempat. Salam berkasta. Kan paham Gereja Katolik, pastinya 99,9% Katolik, hanya pejabat mereka saja yang Noonkatolik. Buat apa salam berkasta-kasta itu. Lebih parah, ketika sedang dijawab, sudah ganti salam yang lain. Lha untuk apa? Sekadar basa-basi, bukan interaksi.

Pengalaman pribadi, ada pemuka agama, Islam di kampung yang meminta untuk menjadi wakil tuan rumah Ketika bapak meninggal, beliau tidak menggunakan asalamualaikum, menggunakan salam selamat siang saja, karena paham dan tahu pelayat banyak yang beragama lain. Toh kadar keimanannya tidak berkurang.

Jauh lebih bijaksana dengan selamat sore Saudara yang berbahagia dan seterusnya. Jauh lebih menghargai dan itulah esensi Pancasila.

Kelima, perlu belajar tata krama di tempat ibadat agama lain. Pasti akan dikatakan menistakan agama, jika para pejabat itu masuk di tempat ibadah lain dengan cara yang berbeda dengan kebiasaan agama yang dikunjungi. Lagi-lagi ini sikap batin, yang sangat subyektif. Tetapi penting dan bisa dipelajari, untuk mengurangi friksi yang tidak semestinya.

Maunya baik namun malah jadi tidak enak, malah lepas esensinya. Sayang, apa yang mau dituju malah tidak mengena.

Polemik ucapan selamat yang selalu saja diriuh rendahkan oleh sebagian pihak   memang terjembatani dengan kehadiran pejabat di tempat-tempat ibadat, namun itu malah percuma ketika tidak empan papan. Konsep dan konteks sendiri yang dipakai.  

Ucapan selamat itu adalah sekadar seremoni social, sebagai bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Itu saja owel, apalagi bicara yang lebih besar dan mendasar. Contoh, bagaimana spanduk ucapan di kantor-kantor Lembaga negara dan daerah, itu hukumnya wajib untuk enam agama. Faktanya? Di Kemenag saja jarang ada. Apalagi jika bicara agama Hindu, Budha, dan Konghucu, sama sekali belum pernah melihat.

Toleransi itu sikap batin. Lihat saja, bagaimana perayaan Natal yang mau diselenggarakan bisa dibatalkan karena pintu menuju rumah yang hendak dipakai diportal oleh warga, atas nama izin. Jauh lebih penting adalah tidak ada lagi pelarangan ibadat atau kegiatan, tidak ada pernyataan dan pertanyaan mana izinnya, atau gampangnya semua orang beragama leluasa menjalankan kegiatannya, tanpa adanya halangan apalagi pembubaran.

Berkaitan dengan pembubaran. Ke mana apparat? Apakah berbicara atas nama hukum dan kebenaran, atau sekadar meredam tantrumnya kelompok mayoritas? Ini pertanyaan mendasar, bukan sekadar tanya remeh temeh. Faktanya selama ini pihak keamanan mencari aman sendiri dengan yang minoritas dipaksa mengalah dan yang mayoritas harus dipahami dan difasilitasi ngamuknya.

Negara ini Pancasila bukan berdasar agama mayoritas. Tafsir semua hidup bersama adalah      Pancasila dan peraturan turunannya. Selama ini yang banyak terjadi adalah tafsir sepihak atas nama mayoritas. Jika demikian, semua bisa bubar karena sikap bar-bar ini.

Toleransi harus menjadi budaya dan kebiasaan baik, bukan sekadar basa-basi atau seremoni murahan lainnya. Jangan mengatakan menista ketika perilakunya sendiri juga remeh dan terkesan meremehkan. Minta ucapan, itu yang lebih mengemuka dari kehadiran pejabat itu, bukan bentuk empati yang tulus.

Tentu opini ini berdasar subyektivitas, namun berangkat dari fakta-fakta yang ada dan berulang. Harapannya bernegara makin baik.

Menyitir pesan Paus   Fransiskus, membangun jembatan, karena keberadaan bangsa ini yang berlimpah perbedaan, menjadi ada titik temu untuk menyatukan. Ada asa untuk keadaan lebih baik.

Pesan Kardinal Suharyo juga baik, bagaimana negara hadir bukan hanya konsesi tambang, jauh lebih gede adalah hadir untuk menjamin hidup beragama yang adil dan sama, sebagaimana amanat UUD 45. Apakah ini utopis? Tentu tidak. Ketika bisa berlaku toleransi tulus, bukan modus.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun