Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Natal 2024: Toleransi Tidak Hanya Seremoni

29 Desember 2024   09:25 Diperbarui: 29 Desember 2024   09:25 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi: Ruang Guru.com

Pengalaman pribadi, ada pemuka agama, Islam di kampung yang meminta untuk menjadi wakil tuan rumah Ketika bapak meninggal, beliau tidak menggunakan asalamualaikum, menggunakan salam selamat siang saja, karena paham dan tahu pelayat banyak yang beragama lain. Toh kadar keimanannya tidak berkurang.

Jauh lebih bijaksana dengan selamat sore Saudara yang berbahagia dan seterusnya. Jauh lebih menghargai dan itulah esensi Pancasila.

Kelima, perlu belajar tata krama di tempat ibadat agama lain. Pasti akan dikatakan menistakan agama, jika para pejabat itu masuk di tempat ibadah lain dengan cara yang berbeda dengan kebiasaan agama yang dikunjungi. Lagi-lagi ini sikap batin, yang sangat subyektif. Tetapi penting dan bisa dipelajari, untuk mengurangi friksi yang tidak semestinya.

Maunya baik namun malah jadi tidak enak, malah lepas esensinya. Sayang, apa yang mau dituju malah tidak mengena.

Polemik ucapan selamat yang selalu saja diriuh rendahkan oleh sebagian pihak   memang terjembatani dengan kehadiran pejabat di tempat-tempat ibadat, namun itu malah percuma ketika tidak empan papan. Konsep dan konteks sendiri yang dipakai.  

Ucapan selamat itu adalah sekadar seremoni social, sebagai bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Itu saja owel, apalagi bicara yang lebih besar dan mendasar. Contoh, bagaimana spanduk ucapan di kantor-kantor Lembaga negara dan daerah, itu hukumnya wajib untuk enam agama. Faktanya? Di Kemenag saja jarang ada. Apalagi jika bicara agama Hindu, Budha, dan Konghucu, sama sekali belum pernah melihat.

Toleransi itu sikap batin. Lihat saja, bagaimana perayaan Natal yang mau diselenggarakan bisa dibatalkan karena pintu menuju rumah yang hendak dipakai diportal oleh warga, atas nama izin. Jauh lebih penting adalah tidak ada lagi pelarangan ibadat atau kegiatan, tidak ada pernyataan dan pertanyaan mana izinnya, atau gampangnya semua orang beragama leluasa menjalankan kegiatannya, tanpa adanya halangan apalagi pembubaran.

Berkaitan dengan pembubaran. Ke mana apparat? Apakah berbicara atas nama hukum dan kebenaran, atau sekadar meredam tantrumnya kelompok mayoritas? Ini pertanyaan mendasar, bukan sekadar tanya remeh temeh. Faktanya selama ini pihak keamanan mencari aman sendiri dengan yang minoritas dipaksa mengalah dan yang mayoritas harus dipahami dan difasilitasi ngamuknya.

Negara ini Pancasila bukan berdasar agama mayoritas. Tafsir semua hidup bersama adalah      Pancasila dan peraturan turunannya. Selama ini yang banyak terjadi adalah tafsir sepihak atas nama mayoritas. Jika demikian, semua bisa bubar karena sikap bar-bar ini.

Toleransi harus menjadi budaya dan kebiasaan baik, bukan sekadar basa-basi atau seremoni murahan lainnya. Jangan mengatakan menista ketika perilakunya sendiri juga remeh dan terkesan meremehkan. Minta ucapan, itu yang lebih mengemuka dari kehadiran pejabat itu, bukan bentuk empati yang tulus.

Tentu opini ini berdasar subyektivitas, namun berangkat dari fakta-fakta yang ada dan berulang. Harapannya bernegara makin baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun