Belajar dari AFF, Membaca Pembinaan Sepak Bola Asia Tenggara
Negara-negara di Asia Tenggara selama ini hanya menjadi penggembira dan tidak jarang menjadi lumbung gol ketika  beraksi di Asia apalagi bicara Piala Dunia. Saat ada yang lolos ke putaran ketiga seleksi piala dunia, dan itu baru tiga negara, yaitu Thailand, Vietnam, dan kali ini Indonesia. Masih sama, Thailand dan Vietnam di gelaran lebih awal hanya menjadi juru kunci. Saat ini, Indonesia lumayan, masih bertengger di posisi jauh lebih baik. Apalagi jika dibandingkan perolehan poin.
Para jiran ternyata ada  sedikit sensi dengan program yang diambil PSSI bersama Shin Tae Yong. Membaca komentar-komentar yang ada, sedikit banyak terlihat bahwa hal ini tidak cukup membanggakan bagi negeri tetangga, bahwa Indonesia masih melaju jauh di gelaran seleksi piala dunia.
Lebih parah lagi, saat di piala AFF ini menurunkan pemain-pemain relative muda, bukan tim yang masih bertanding untuk kelas piala dunia. Mereka, negeri tetangga ini banyak yang marah-marah, mengatakan meremehkan, pasti akan kalah karena hanya pemain muda, mentah, dan belum banyak pengalaman. Lebih menggelikan lagi, Ketika Malaysia mengatakan, bua tapa lolos putaran ketiga piala dunia jika belum pernah juara AFF.
Focus Pembinaan
Pembinaan itu harusnya berjenjang. Kelas regional seperti AFF ini, ya berbeda dengan yang bermain untuk Piala Asia apalagi dunia. Namanya berjenjang dan bertingkat. Pemain bisa memperoleh pengalaman yang memadai sesuai dengan tingkat persaingannya.
Bayangkan, jika pemain yang masih diharapkan bisa bicara lebih jauh di putaran piala dunia, terus ikut AFF, kemudian cidera, apa yang terjadi? Pemain, pengurus PSSI, dan juga Shin Tae Yong pasti paham bagaimana permainan di AFF itu. Bukti semalam, Ketika pemain andalan di AFF dan piala dunia kena tendangan bola ke kepala dengan keras dan langsung seperti itu.
Jika semua pemain yang harus juga main di putaran tiga cidera, malah semua tidak dapat apa-apa. Buat apa pembinaan jika demikian?
Harusnya, negeri-negeri Asia Tenggara ini sudah harus memiliki visi lebih besar. Bicara Piala Asia dan bahkan Piala Dunia, tidak sekadar longok-longok, penggembira, dan pasti juru kunci.
Katak dalam tempurung yang tidak membuat sepak bola di Asia Tenggara  kalah jauh dengan Timur Tengah dan juga Asia Timur yang langganan masuk dan juara Piala Asia. Di Piala Dunia pun bisa bicara banyak. Hal besar ini, tidak berkutat di AFF sampai main kayu dan keras bahkan kasar. Malu dilihat benua lain.
Kelelahan pemain. Pemain itu memiliki klub, mereka digaji dan dibayar oleh klubnya. Keseringan diminta negara, apalagi pemain dari Eropa tentu tidak akan rela dengan begitu saja. Terlebih jika tidak masuk agenda AFC dan FIFA. Mereka memiliki hak untuk menahan pemain, dianggap bukan pertandingan resmi. Nah, perjuangan AFF agar diakui sebagai pertandingan resmi dalam kalender FIFA itu juga penting. Namun apa iya, jika mutunya masih begitu-begitu saja?
FIFA dan juga dunia akan melirik mutu dari tim yang bermain. Pemain yang bisa membuat mereka bicara banyak, akan mendatangkan banyak manfaat akan diberi fasilitas. Bagaimana bisa ketika tim  yang ada di Asia Tenggara masih berfikir sepanjang dunianya sendiri, AFF dengan segala kekurangannya, namun mau dilirik dan direstui AFC dan FIFA?
Tidak cukup hanya bersaing bahkan bersitegang hanya di Kawasan sendiri. Â Cara mainnya kek tarkam malah, tentu saja STY sebagai pelatih kelas dunia enggan mempertaruhkan reputasi dan pemainnya untuk remuk seperti itu.
Memberikan menit bermain dengan intensitas tinggi dalam pertandingan kompetitif juga penting untuk pemain muda. Sudah seharusnya Sea Games, AFF itu sekadar pertandingan kelompok umur untuk memberikan pemain pengalaman dan menit bermain dengan kompetitif yang tinggi. Dengan demikian mereka terasah untuk ajang yang lebih besar dan tinggi. Ingat ini bukan meremehkan, namun berjenjang dan menanjak makin besar.
Lihat saja, mana ada yang bisa bicara lebih jauh dari putaran ketiga dengan poin baik, bukan juru kunci dari Kawasan Asia Tenggara. Padahal Timur Tengah sudah langganan piala dunia, apalagi Asia Timur yang diwakili Korea Selatan dan Jepang, mereka sudah bicara di piala dunia cukup lama. Pemain-pemain mereka sudah bertebaran di Eropa dan menjadi pemain klub papan atas. Â Ini visi, focus, dan harusnya menjadi mimpi pemain, federasi, dan juga pelatih di Kawasan ASEAN.
Terlihat masih campur aduk, maunya semua piala direngkuh, dengan pemain yang hanya itu-itu saja, ya pastinya yang senior jebol, yang muda tidak terbina. Lihat mana generasi Evan Dimas dkk? Hanya sejenak eforia U19 dan lenyap.
Pembinaan dan liga yang baik akan membuat dan melahirkan pemain-pemain yang berkarakter, siap memasuki arena yang kompetitif, berani menang, tidak takut kalah, dan menghargai apapun hasil akhirnya.
Penonton pun harus belajar, bahwa semua perlu proses. Menang dan kalah itu bagian utuh atas pertandingan dan kompetisi. Tuntutannya tidak hanya menang dan juara saja, namun mendukung dalam semua kondisi.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H