Frozen Food dan Memelihara Burung dalam Sangkar
Frozen food telah menjadi gaya hidup era modern. Kesibukan dan banyaknya aktivitas tidak ada waktu untuk memasak. Jalan ninja yang sangat  menjanjikan saat ini adalah makanan beku atau frozen food, atau makanan kaleng. Berbagai bentuk dan variasi tersedia, bahkan ada toko atau gerai khusus menyediakan jenis makanan siap masak model ini.
Begitu melimpah makanan beku, dari ikan, daging, buah, sayur, dan makanan yang memang sudah dipersiapkan untuk itu. Gudeg saja ada  tiwul, makanan tradisional, yang mungkin banyak generasi Z tidak paham apa itu tiwul saja sudah ada.
Jika frozen food adalah sebuah gaya hidup, untuk konteks Indonesia secara umum kog sayang. Berapa sih waktu untuk main medsos itu bisa digunakan untuk menyiapakn bahan-bahan segar, memasak dengan waktu yang cenderung normal, dan menikmati rasa yang lezat.
Pasar tradisional masih begitu gampang dijangkau, termasuk kota Metropolitan sebagaimana Jakarta atau Surabaya. Belum lagi kelas supermarket yang menyediakan makanan dan bahan-bahan segar. Masih juga banyak tempat atau kebun yang menyajikan buah, sayur-mayur dengan sangat mudah dan murah. Pun ikan dan daging segar, di mana-mana sangat mudah ditemui.
Kadang memang kesibukan yang menjadikan keluarga memangkas waktu dengan model makanan kaleng, dan lebih cepat dalam memasak dan kemudian menyajikan. Tidak ada yang salah, tetapi, bagaimanapun tetap lebih lezat dan sehat yang segar.
Makanan kaleng ini, kog rasa-rasanya sama dan sebangun dengan memelihara burung dalam sangkar. Merasakan cita rasa alam, kicau burung yang memberikan gambaran alam yang asri, namun dalam kurungan. Burungnya bisa saja berkicau riang, namun toh sangat terbatas, hanya satu atau dua. Bagi yang lebih uang bisa saja sampai ratusan. Toh tidak sama dengan di alam yang bisa apa saja bernyanyi riang gembira, ada keanekaragaman.
Apa yang terjadi dengan burung ini lain ketika di alam liar atau dalam kurungan. Mereka lebih bebas, makanannya sangat mungkin tidak seterjamin di kandang peliharaan, tetapi kan ada yang kurang. Terkungkung, terbatas, dan tidak leluasa.
Pun, makanan kaleng, praktis, mudah, dan enak, serta dekat, tetapi bagaimana soal kesegaran dan juga pengawet, serta kandungan lain yang sudah rusak, karena produksi, penyimpanan, dan distribusi yang bisa jadi sampai tahunan.
Jauh lebih realistis alam Indonesia yang begitu kaya itu kog makanan segar dan masih terjangkau. Sayangnya budaya dan kebiasaan orang bangsa ini adalah tampilan, kemasan, dan kepraktisan. Padahal belum tentu itu bagus.
Apa yang  Koes Plus katakan, Nusantara ini taman surga, kolam susu, semua tanaman bisa tumbuh, bahkan tongkat pun bisa jadi tanaman .   Apabila tongkat saja bisa tumbuh, alangkah sayangnya jika makanan segar berlimpah itu malah terbuang dan tersingkirkan karena industrialisasi makanan modern menggerusnya.
Artikel ini tentu bukan antimodernisasi ataupun makanan kaleng. Namun hendak mengulik apa yang ada di sisi lain di lingkungan kita yang kaya raya keanekaragaman itu bisa tersisih karena gaya hidup baru yang menggerogoti yang alamiah.
Fakta di lapangan, banyak sayur, ikan, daging, buah, dan makanan segar lainnya karena kurang keren dalam penyajian dagangan, kemasan kalah keras dalam penjualan. Makanya tidak heran, ketika lemon tea Rp. 18.000,00, teh jeruk maksimal hanya Rp. 5.000,00.
Jangan sampai apa yang ada di sekitar kita malah hilang hanya  karena kitanya yang tidak merawat atau bahkan malu karena menilai itu ketinggalan zaman atau kudet. Tidak demikian adanya.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H