Mirisnya, atribut, aktivitas ritual, dan hal-hal artifisial itu begitu kekeh dan kuat untuk dilaksanakan. Hingga kematian pun bisa sangat terjadi. Lha bagaimana ketika banyak kasus-kasus  yang harusnya secara moral spiritual itu bersuara, namun malah diam saja, ini si  para pemeluk dan penghayat agama demikian kental itu.
Ketika berbicara mengenai lepas jilbab Paskibraka begitu ribut, riuh rendah, dan hujat sana-sini, namun perilaku kekerasan di sekolah oleh guru agama, kekerasan seksual di pondok pesantren, dan juga kasus-kasus kriminal demikian laju kencangnya, tanpa ada suara mereka, segarang ketika ada ide pelepasan jilbab.
Pun ketika ada pemaksaan jilbab di beberapa kejadian, mereka yang ada pada barisan yang sama, diam saja. Bandingkan bagaimana garangnya oang-orang ini ketika ada isu yang sebaliknya. Mengapa demikian? Ya lagi dan lagi karena mabuk perintah agama ini.
Aksi intoleransi yang demikian marak, mereka, tokoh agama begitu senyap. Tidak ada suara sama sekali. Perintah agama yang diasumsikan, diterjemahkan berbeda oleh beberapa pihak dan orang yang meyakini demikian, toh yang lainnya diam saja, tidak memberikan pencerahan secara lebih luas. Hanya netizen saja yang bergerak untuk membuat keadaan lebih baik dan normal.
Lihat, ketika berdoa harus begini dan begitu, versi pelaku intoleransi, namun korupsi begitu maraknya. Suap merajalela, seolah itu bukan hal yang salah secara agama. Bagaimana pertanggungjawaban agama dan beragama model demikian ini?
Pancasila adalah jalan  bagi bangsa ini yang demikian plural, majemuk, dan kaya akan perbedaan dalam banyak hal. Agama, suku, ras, bahasa, adat-istiadat, begitu rupa. Tanpa Pancasila sebagai pemersatu, jalan tengah, semua maunya menang sendiri. Agamaku, sukuku, rasku, bahasaku yang utama, lainnya pengikut, pengekor semata.
Konsep menang-menang sulit terwujud dalam Bangsa Indonesia tanpa keberadaan Pancasila. Benar, bahwa masih banyak yang bersikap mau menang sendiri dan pihak lain harus ikut arus mereka. Kasihan, saudara sebangsa sendiri, namun mereka tempatkan pada posisi yang lebih rendah.
Pernyataan dan tesis Karl Marx tidak pernah disukai di negeri ini, namun faktanya terjadi. menjadi pengingat yang penting justru untuk bisa bersikap rasional dalam beragama. Jangan katakan dan pisahkan rasio dan iman. Iman juga perlu nalar, sehingga tidak menjadi naif apalagi bodoh.
Beragama itu penting, bahkan di negara ini wajib. Apa-apa agama yang menjadi parameter, bahkan agama menjadi mahapenting, apapun harus sesuai dengan aturan agama. Artis, pemain bola, pemain basket, semuanya harus mencantumkan agamanya. Mengenai perilakunya nanti dulu, sering tidak linier dengan apa yang seharusnya ketika berbicara mengenai agama.
Apa coba pentingnya agamanya untuk sebuah tim sepak bola? Atau artis, padahal perilakunya jauh dari tuntunan agama. Menanyakan agamanya apa bagi yang berprestasi. Mencemooh capaian ilmu sains, kesarjanaan karena tidak menjamin masuk surga katanya. Naif.
Toa bergema berkali-kali, sangat disiplin, tidak pernah sekalipun terlambat, namun lihat, pegawai melayani warga sangat lelet, waktunya ngaso ngobrol, jam kerja baru berangkat ke mushola. Sama sekali tidak mencerminkan hidup beragama yang hidup dalam kesehariannya.