Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama adalah Candu dan Keberadaan Pancasila

1 Oktober 2024   16:02 Diperbarui: 1 Oktober 2024   16:02 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama adalah Candu dan Keberadaan Pancasila

Selamat Hari Kesaktian Pancasila

Momen 01 Oktober bagi bangsa ini sangat spesial. Masih pro dan kontra ya wajar. Tertuduh hingga hari ini, bahkan sangat sensi jika bicara mengenai komunisme, bukan sebagai sebuah paham, hanya mendengar kata itu saja sudah bisa membuat sewot.

Tentu saja bahwa hal ini memang setingan oleh penguasa Orde Baru dan dunia waktu itu yang mau mengebiri komunisme dan sosialisme yang menjadi 'musuh' besar kapitalisme yang mau menguasai dunia. Berdekade-dekade lampau.

Tokoh-tokoh yang bersikap kritis pada agama sering dianggap komunis, ateis, dan seterusnya. Sering dijadikan bahan untuk menyerang dan mendeskreditkan mereka oleh kaum agamis. Padahal sering  tanggapan atau  gagasan mereka itu realitis. Agama yang tidak memperkembangkan dinyatakan sebagai candu, Karl Marx.

Konteks yang terjadi adalah, ketika orang gagal, mereka akan berharap bahwa nanti di surga akan tergenapi. Konsep agama, yang bagi Karl Marx itu penghambat kemajuan dan daya juang. Nglokro karena menantikan jawaban dan juga reward di surga atau akhirat nanti.   

Hari-hari ini, bangsa ini sedang dihidupi dengan gaya hidup yang identik dengan kritik Marx ini. Lihat saja bagaimana kekerasan oleh guru agama terjadi di mana-mana, ada yang hamil, meninggal, dan hukuman yang berlebihan dibandingkan apa yang dilakukan.

Hanya karena tidak hafal ayat Kitab Suci, anak dihukum squat jump dan meninggal. Hukuman yang berlebihan. Senada, ketika  ada guru yang melempar kayu berpaku hingga anak didiknya meninggal, karena tidak ikut sholat bareng di sekolahnya.  Atas nama penegakan aturan surga.

Aksi intoleransi atas nama nyanyian surgawi juga begitu lantang terdengar dari mana-mana. Atas nama surga dan akherat, mereka melukai sesamanya. Kemanusiaan hilang karena impian surga dan akherat yang mereka yakini keberadaannya. Versi mereka, bukan universal apa yang mereka yakini. Cenderung sektarian, karena sesamanya, yang beragama atau berkeyakinan sama saja masih mempertanyakan, bahkan menyalahkan apa yang diyakini beberapa pihak ini.

Pemaksaan kehendak atas nama agama di mana-mana terjadi. peristiwa di pertandingan PON, ketika salah satu atlet diwajibkan dengan jilbab, padahal Nonmuslim. Pro kontra terjadi lagi. Senada dengan keberadaan   anak sekolah Kristen dipaksan juga mengenakan jilbab. Sedikit ke belakang, ketika pasukan pengibar bendera Hari Kemerdekaan perempuan berjilbab diminta membukanya, langsung beramai-ramai mengutuk si penggagas. Lagi-lagi atas nama perintah agama.

Mirisnya, atribut, aktivitas ritual, dan hal-hal artifisial itu begitu kekeh dan kuat untuk dilaksanakan. Hingga kematian pun bisa sangat terjadi. Lha bagaimana ketika banyak kasus-kasus  yang harusnya secara moral spiritual itu bersuara, namun malah diam saja, ini si   para pemeluk dan penghayat agama demikian kental itu.

Ketika berbicara mengenai lepas jilbab Paskibraka begitu ribut, riuh rendah, dan hujat sana-sini, namun perilaku kekerasan di sekolah oleh guru agama, kekerasan seksual di pondok pesantren, dan juga kasus-kasus kriminal demikian laju kencangnya, tanpa ada suara mereka, segarang ketika ada ide pelepasan jilbab.

Pun ketika ada pemaksaan jilbab di beberapa kejadian, mereka yang ada pada barisan yang sama, diam saja. Bandingkan bagaimana garangnya oang-orang ini ketika ada isu yang sebaliknya. Mengapa demikian? Ya lagi dan lagi karena mabuk perintah agama ini.

Aksi intoleransi yang demikian marak, mereka, tokoh agama begitu senyap. Tidak ada suara sama sekali. Perintah agama yang diasumsikan, diterjemahkan berbeda oleh beberapa pihak dan orang yang meyakini demikian, toh yang lainnya diam saja, tidak memberikan pencerahan secara lebih luas. Hanya netizen saja yang bergerak untuk membuat keadaan lebih baik dan normal.

Lihat, ketika berdoa harus begini dan begitu, versi pelaku intoleransi, namun korupsi begitu maraknya. Suap merajalela, seolah itu bukan hal yang salah secara agama. Bagaimana pertanggungjawaban agama dan beragama model demikian ini?

Pancasila adalah jalan  bagi bangsa ini yang demikian plural, majemuk, dan kaya akan perbedaan dalam banyak hal. Agama, suku, ras, bahasa, adat-istiadat, begitu rupa. Tanpa Pancasila sebagai pemersatu, jalan tengah, semua maunya menang sendiri. Agamaku, sukuku, rasku, bahasaku yang utama, lainnya pengikut, pengekor semata.

Konsep menang-menang sulit terwujud dalam Bangsa Indonesia tanpa keberadaan Pancasila. Benar, bahwa masih banyak yang bersikap mau menang sendiri dan pihak lain harus ikut arus mereka. Kasihan, saudara sebangsa sendiri, namun mereka tempatkan pada posisi yang lebih rendah.

Pernyataan dan tesis Karl Marx tidak pernah disukai di negeri ini, namun faktanya terjadi. menjadi pengingat yang penting justru untuk bisa bersikap rasional dalam beragama. Jangan katakan dan pisahkan rasio dan iman. Iman juga perlu nalar, sehingga tidak menjadi naif apalagi bodoh.

Beragama itu penting, bahkan di negara ini wajib. Apa-apa agama yang menjadi parameter, bahkan agama menjadi mahapenting, apapun harus sesuai dengan aturan agama. Artis, pemain bola, pemain basket, semuanya harus mencantumkan agamanya. Mengenai perilakunya nanti dulu, sering tidak linier dengan apa yang seharusnya ketika berbicara mengenai agama.

Apa coba pentingnya agamanya untuk sebuah tim sepak bola? Atau artis, padahal perilakunya jauh dari tuntunan agama. Menanyakan agamanya apa bagi yang berprestasi. Mencemooh capaian ilmu sains, kesarjanaan karena tidak menjamin masuk surga katanya. Naif.

Toa bergema berkali-kali, sangat disiplin, tidak pernah sekalipun terlambat, namun lihat, pegawai melayani warga sangat lelet, waktunya ngaso ngobrol, jam kerja baru berangkat ke mushola. Sama sekali tidak mencerminkan hidup beragama yang hidup dalam kesehariannya.

Jika saya beragama di Indonesia itu berbanding lurus dengan perilakunya, pastinya bangsa ini sudah maju, makmur, dan luar biasa sejahtera.    Sayangnya malah berbanding terbalik.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun