Miris, demi masuk rekor MURI, penyelenggaraan hari jadi ke-391, pemerintah Karawang mengupayakan 1600 nasi tumpeng berbentuk peta Kabupaten Karawang. Tumpeng sebanyak itu tentu saja diupayakan oleh banyak pihak. Ada yang mengaku mengupayakan dengan saweran sampai lima juta rupiah.
Bupati mengatakan, bahwa yang dibuang adalah makanan, tumpeng, atau bagian yang sudah tidak layak makan. Tentu saja itu bahasa diplomatis, komunikasi publik yang belum tentu tepat seperti itu. video yang beredar, tidak menampilkan sebagaimana kata pejabat setempat tersebut.
Begitu besar sampah makanan di Indonesia, pada tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencapai 46, 35 juta ton. Jumlah sampah terbesar dari sampah, bahkan lebih dari sampah plastik. Benar, dampak sampah plastik lebih buruk.
Secara dunia, menempati peringkat empat besar, di atasnya ada China, India,  dan Nigeria. Jumlahnya mencapai 40,9% dari total sampah yang ada. Posisi di regional, Asia Tenggara Indonesia nomor satu penyumpah sampah pangan. Sangat besar, tanpa disadari bahwa itu  masih layak konsumsi.
Ada dua jenis sampah makanan yang dibedakan, food loss dan food waste. FL sampah yang terjadi karena produksi, itu pascapanen, penyimpanan, pemrosesan, dan pengemasan. FW sampah pangan yang terjadi karena distribusi, pemasaran, dan konsumsi. Jumlah sampah makanan dari konsumsi sebesar 5-19 ton. Sebanyak 80% itu dari rumah tangga, artinya perilaku konsumsi yang keliru. Â Â
Rumah tangga menghasilkan buangan makanan yang luar biasa besar. Hal ini berkaitan dengan pola makan dan konsumsi kita yang memang buruk. Lihat saja dalam rapat, pertemuan, atau perjamuan, mau prasmanan atau piring terbang, begitu banyak nasi atau lauk sisa. Lebih menjengkelkan kalau itu prasmanan. Wong mengambil sendiri kog tidak habis.
Sebuah konsep, terutama Jawa memang tidak layak menghabiskan makanan di piring. Namun dulu masih ada hewan peliharaan, ayam. Itu jatah ayam dan peliharaan lain. Ketika kebiasaan lain, dalam konteks ini ada peliharaan sudah tidak ada lagi, menyisakan makanan masih berlanjut.
Mengapa tidak diubah, menjadi menyisakan, bukan yang di atas piring, namun mengambil secukupnya, kemudian yang tidak termakan diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Masih banyak yang memerlukan kog. Konsep berbagi, bahasa agamisnya sodaqoh itu penting.
Sikap egoisme terlihat ketika mengambil banyak hanya dibuang-buang. Arogansi terjadi di sana. Kerugian sampah makanan itu trilyunan lho. Jangan dianggap remeh.
Budaya photo dan kamera yang murah dan bisa jadi viral menghasilkan monetasi, dengan bahan konten makanan. Ada selegram yang meninggal dengan isi lambungnya makanan lebih ari 10 kg yang tidak bisa tercerna. Ia melakukan siaran langsung makan besar terus menerus sekian jam. Sering juga menjumpai remaja dan muda awal beli makanan diphoto, kemudian hanya dimakan satu dua suap dan ditinggal.
Memang sampah makanan itu bisa dibuat banyak hal. Misalnya biopori untuk sampah rumah tangga, akan menyuburkan tanah. Konsep ini pastinya sangat terbatas terutama untuk kawasan perkotaan, yang tanahnya tertutupi beton semua. Lha mau di mana membuat biopori. Sebagai sebuah upaya pemanfaatan oke lah.
Pakan ternak. Terutama sayur dan gandum seperti roti atau kue tidak laku bisa menjadi pakan tambahan ikan, anjing, babi, dan juga sapi. Sayur jelas banyak peternak atau pemilik hewan yang makan sayur mau dengan suka cita menerima buangan ini.
Nah, sering tidak terjembatani pabrik atau toko asal buang, karena enggan ada sapah di lingkungannya. Padahal ada yang mau menampung untuk pakan ternak. Pemerintah, terutama  dinas terkait bisa menyambungkan link untuk simbiosis mutualisme ini.
Skala rumah tangga, sisa-sisa makanan, sayur, nasi, bisa dijadikan ekoensim, untuk pupuk tanaman. Tentu lagi, kalau yang suka tanaman dan mau susah payah menjadikannya pupuk cair. Perlu sosialisasi lebih.
Mengenai sampah ini pastinya lebih jauh yang terdampak adalah perkotaan. Kawasan terbatas, mau memutar lagi untuk menjadi pupuk atau pakan ternak juga biasanya tidak ada. Relatif aman  untuk kawasan pinggiran dan pedesaan.
Literasi dan edukasi untuk mengatakan cukup pada makanan. Mengambil, memakan, dan juga bertanggung jawab atas yang sudah diambil.
Sangat kontesktual nanti pas makan siang gratis berjalan. Jangan sampai malah menambah sampah makanan, karena tidak enak, atau bosan dengan menu yang itu-itu saja. Lembaga  yang terkait perlu pasang mata dan telinga dengan seksama, mencermati jangan sampai malah naik kelas dalam menciptakan sampah pangan.
Berbagi. Sikap membagikan makanan yang tidak habis itu baik juga. Contoh, usai pertemuan RT, pengajian, atau ibadat makanan yang tidak habis kemakan bisa diberikan  ke tempat-tempat orang yang membutuhkan. Mereka pasti suka cita. Siapa yang paham, tentu orang di sekitarnya, seperti panti asuhan, pemelihara binatang, atau peternakan.
Kembali pada judul dan ilustrasi, mengapa sampai membuang begitu banyak makanan, dalam hal ini tumpeng? Ya karena sikap mental dalam menghadapi atau menghargai pangan. Seolah biasa saja membuang itu sebagai halnya membuang kardus, plastik bekas. Padahal tidak patut demikian itu. Hal ini berkaitan dengan penghargaan akan pembuat dan makanannya.
Terima kasih dan Salam
Susy Haryawan
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H