Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ribuan Tumpeng Dibuang dan Kepedulian Sampah Makanan

28 September 2024   08:59 Diperbarui: 28 September 2024   09:04 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap egoisme terlihat ketika mengambil banyak hanya dibuang-buang. Arogansi terjadi di sana. Kerugian sampah makanan itu trilyunan lho.  Jangan dianggap remeh.

Budaya photo dan kamera yang murah dan bisa jadi viral menghasilkan monetasi, dengan bahan konten makanan. Ada selegram yang meninggal dengan isi lambungnya makanan lebih ari 10 kg yang tidak bisa tercerna. Ia melakukan siaran langsung makan besar terus menerus sekian jam. Sering juga menjumpai remaja dan muda awal beli makanan diphoto, kemudian hanya dimakan satu dua suap dan ditinggal.

Memang sampah makanan itu bisa dibuat banyak hal. Misalnya biopori untuk sampah rumah tangga, akan menyuburkan tanah. Konsep ini pastinya sangat terbatas terutama untuk kawasan perkotaan, yang tanahnya tertutupi beton semua. Lha mau di mana membuat biopori. Sebagai sebuah upaya pemanfaatan oke lah.

Pakan ternak. Terutama sayur dan gandum seperti roti atau kue tidak laku bisa menjadi pakan tambahan ikan, anjing, babi, dan juga sapi. Sayur jelas banyak peternak atau pemilik hewan yang makan sayur mau dengan suka cita menerima buangan ini.

Nah, sering tidak terjembatani pabrik atau toko asal buang,  karena enggan ada sapah di lingkungannya. Padahal ada yang mau menampung untuk pakan ternak. Pemerintah, terutama  dinas terkait bisa menyambungkan link untuk simbiosis mutualisme ini.

Skala rumah tangga, sisa-sisa makanan, sayur, nasi, bisa dijadikan ekoensim, untuk pupuk tanaman. Tentu lagi, kalau yang suka tanaman dan mau susah payah menjadikannya pupuk cair. Perlu sosialisasi lebih.

Mengenai sampah ini pastinya lebih jauh yang terdampak adalah perkotaan. Kawasan terbatas, mau memutar lagi untuk menjadi pupuk atau pakan ternak juga biasanya tidak ada. Relatif aman   untuk kawasan pinggiran dan pedesaan.

Literasi dan edukasi untuk mengatakan cukup pada makanan. Mengambil, memakan, dan juga bertanggung jawab atas yang sudah diambil.

Sangat kontesktual nanti pas makan siang gratis berjalan. Jangan sampai malah menambah sampah makanan, karena tidak enak, atau bosan dengan menu yang itu-itu saja. Lembaga  yang terkait perlu pasang mata dan telinga dengan seksama, mencermati jangan sampai malah naik kelas dalam menciptakan sampah pangan.

Berbagi. Sikap membagikan makanan yang tidak habis itu baik juga. Contoh, usai   pertemuan RT, pengajian, atau ibadat makanan yang tidak habis kemakan bisa diberikan  ke tempat-tempat orang yang membutuhkan. Mereka pasti suka cita. Siapa yang paham, tentu orang di sekitarnya, seperti panti asuhan, pemelihara binatang, atau peternakan.

Kembali pada judul dan ilustrasi, mengapa sampai membuang begitu banyak makanan, dalam hal ini tumpeng? Ya karena sikap  mental dalam menghadapi atau menghargai pangan. Seolah biasa saja membuang itu sebagai halnya membuang kardus, plastik bekas. Padahal tidak patut demikian itu. Hal ini   berkaitan dengan penghargaan akan pembuat dan makanannya.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun