Wasit sangat mungkin keliru. Tetapi regulasi di manapun pemain  tidak boleh menyentuh wasit, lha ini malah sampai memukul. Tentu saja keadaan sangat tidak kondusif, dan memberikan citra sangat buruk. Pemain lokal memang beda kelas dengan keturunan. Suka atau tidak, hal itu jelas demikian.
Pemain yang berlaga masih lebih mengedepankan emosi dari pada ketenangan yang seharusnya dihidupi pemain sepak bola dan olah raga pada umumnya. Pemain seperti ini meskipun main di tinju atau bela diri juga tidak akan mampu berjiwa sportif.
Risiko diperlakukan tidak adil ataupun baik itu selalu disikapi dengan bijaksana dan kepala dingin.  Sikap sportif dan tenang terlihat belum ada. Benar ini  pertandingan amatir dan pemain muda, tetapi toh harus juga memiliki sikap mental yang tenang.
Wasit juga terlihat tidak baik dalam memimpin. Sikapnya tidak harus berlari ke titik putih seperti itu kog. Hentikan pertandingan, menghukum yang sedang berjibaku dan saling jegal, kemudian berjalan ke titik putih. Emosi pemain tentu tidak akan tersulut. Lha lari kek itu, wajar ada pemain yang ngamuk dan langsung memberikan hantaman dan sangat pas.
Siap menang siap kalah masih terlalu jauh dari model pertandingan di Indonesia. Â Usai meng-KO wasit, pemain Sulteng yang kehilangan pemain mendapatkan pinalti lagi, dan keadaan jadi imbang. Perlu perpanjangan waktu dan mereka menolak bertanding. WO, sehingga tuan rumah melaju ke semi final.
Model tuan rumah harus menang, pokoknya menang apapun caranya masih demikian kental dalam dunia olah raga negeri ini, terutama sepak bola. Liga Indonesia pun demikian. Tidak heran sering  melihat keanehan-keanehan keputusan wasit dalam pertandingan di liga ataupun kompetisi sepak bola Indonesia.
Pengaturan skor di tim yunior. Pelatih timnas U17, kaget, heran, dan bahkan cemas melihat anak-anak usia dini tidak merasa berdosa ketika mereka melakukan pertandingan gajah. Mereka bersorak atas keadaan yang jahat itu. Bagaimana  bisa berprestasi tingkat dunia, jika pembinaannya amburadul begitu.
Jelas itu pengurus, bukan anak-anak yang mengatur skor. Otaknya pasti orang dewasa. Nah, untuk anak-anak yang dibina dengan model begitu bisa diharapkan seperti apa coba?
Apa yang terjadi dalam pembentukan timnas Indonesia kali ini sangat wajar dan baik. Pilihan realistis, ketika menghadapi masalah pelik dalam pembinaan sepak bola. Terlihat dari permainan di PON Sumut- Aceh  yang mengedepankan kekerasan dan wasit kinerjanya layak dipertanyakan tersebut.
Pembinaan yang dipahami dengan baik para penggemar bola bahwa banyak masalah, namun oleh sebagian kecil elit, itu dianggap sebagai sebuah prestasi dan harus dipertahankan, naif rasanya. Hasil kerja keras pihak-pihak yang terkait mau dimentahkan para pemuja berisik ini. Hanya orang aneh yang maunya kalah asal  lokalan.
Susah maju, ketika tidak ada apresiasi, sikap nyengkuyung yang semestinya untuk sebuah gagasan. Ribet dan ribut pada pekerja, dan yang cuma menghasilkan sampah malah didiamkan saja. Hal ini selalu saja demikian. Mau di dunia  politik, usaha, ataupun olah raga.