Sikap Rocky Gerung dan Peter F. Gontha Dijawab Langsung PON Aceh-Sumut
Timnas PSSI menahan imbang Australia. Peringkat 120an bisa mengimbangi peringkat 24, selisih lebih dari 100, bisa dibanyangkan. Itu kerja keras dan terutama kerja cerdas STY. Sebelumnya juga menahan imbang Arab Saudi, yang menduduki peringkat 56. Wajar ketika  anak negeri penggemar bola girang.
Miris sebagian pihak  malah nyinyir dan seolah mencari panggung dengan cacian baik halus ataupun kasar.  Orang-orang ini ke mana saja ya ketika Indonesia dilibas Bahrain  10:0, atau ketika keder hanya melihat Vietnam atau Thailand. Kini, ketika Vietnam saja ditekuk  di kandangnya sendiri malah mereka ribut.
Dua tokoh tenar di media yang banyak omong, dulunya tidak pernah bicara bola. Pertama, Rocky Gerung. Ia mengatakan timnas ganti timnat, tim naturalisasi. Ia mengatakan kemenangan dan juga seri yang diperoleh tidak ideal. Entah konsep mana ada ideal atau tidak ini. Apakah Timnas   Spanyol juga tidak ideal menang di final Piala Eropa melawan Perancis dengan pemain keturunan sama banyaknya itu?
Malah juga ia nyatakan, lebih baik kalah terus dengan pemain lokal, dari pada menang dengan pemain keturunan. Ini komentar apa sih, atau lagi ngigau kali ya? Mana ada sih maunya kalah terus? Padahal pemain naturalisasi, keturunan, ataupun asing sekalipun banyak dipakai di negara-negara besar sepak bola. Aneh dan tidak idealnya di mana? Kecuali, hanya negeri ini saja dan tidak ada bangsa lain yang melakukan.
Sepanjang regulasi FIFA dan PSSI tidak ada yang dilanggar, apa salahnya? Toh persoalan di sepak bola Indonesia begitu banyak dan susah untuk diurai dalam waktu yang secepat pikiran para pengritik STY dan  Erikc Thohir.
Kedua, Peter F. Gontha, ia mengatakan malu pada temannya orang asing yang menanyakan,  mengapa  timnas Indonesia banyak pemain keturunannya? Lha gak malu tuh Inggris, Jerman? Aneh dan lucu saja, wong negara-negara lain juga melakukan, prestasinya di level-level elit dunia. Pernah juara dunia semua pula.  Kenapa ketika Indonesia itu seolah paling jahat dan buruk?
Eh, mereka berdua yang memiliki pengikut besar di media sosial, tentu akan mmbawa dampak yang luar biasa. Keadaan yang sedang bagus, eforia sangat positif, setelah itu seolah tersentak, dan kemudian berkasak-kusuk lagi. Keadaan tidak lagi sama.
Tiba-tiba jawaban menohok itu hadir dari pertandingan PON Sumut-Aceh, di mana kesebelasan Aceh berjumpa Sulteng. Keadaan unggul untuk tim tamu, kesebelasan tuan rumah mendapatkan hadiah pinalti dan satu pemain yang merasa tidak terima memukul wasit dan langsung terkapar.
Apa yang terjadi adalah;
Wasit sangat mungkin keliru. Tetapi regulasi di manapun pemain  tidak boleh menyentuh wasit, lha ini malah sampai memukul. Tentu saja keadaan sangat tidak kondusif, dan memberikan citra sangat buruk. Pemain lokal memang beda kelas dengan keturunan. Suka atau tidak, hal itu jelas demikian.
Pemain yang berlaga masih lebih mengedepankan emosi dari pada ketenangan yang seharusnya dihidupi pemain sepak bola dan olah raga pada umumnya. Pemain seperti ini meskipun main di tinju atau bela diri juga tidak akan mampu berjiwa sportif.
Risiko diperlakukan tidak adil ataupun baik itu selalu disikapi dengan bijaksana dan kepala dingin.  Sikap sportif dan tenang terlihat belum ada. Benar ini  pertandingan amatir dan pemain muda, tetapi toh harus juga memiliki sikap mental yang tenang.
Wasit juga terlihat tidak baik dalam memimpin. Sikapnya tidak harus berlari ke titik putih seperti itu kog. Hentikan pertandingan, menghukum yang sedang berjibaku dan saling jegal, kemudian berjalan ke titik putih. Emosi pemain tentu tidak akan tersulut. Lha lari kek itu, wajar ada pemain yang ngamuk dan langsung memberikan hantaman dan sangat pas.
Siap menang siap kalah masih terlalu jauh dari model pertandingan di Indonesia. Â Usai meng-KO wasit, pemain Sulteng yang kehilangan pemain mendapatkan pinalti lagi, dan keadaan jadi imbang. Perlu perpanjangan waktu dan mereka menolak bertanding. WO, sehingga tuan rumah melaju ke semi final.
Model tuan rumah harus menang, pokoknya menang apapun caranya masih demikian kental dalam dunia olah raga negeri ini, terutama sepak bola. Liga Indonesia pun demikian. Tidak heran sering  melihat keanehan-keanehan keputusan wasit dalam pertandingan di liga ataupun kompetisi sepak bola Indonesia.
Pengaturan skor di tim yunior. Pelatih timnas U17, kaget, heran, dan bahkan cemas melihat anak-anak usia dini tidak merasa berdosa ketika mereka melakukan pertandingan gajah. Mereka bersorak atas keadaan yang jahat itu. Bagaimana  bisa berprestasi tingkat dunia, jika pembinaannya amburadul begitu.
Jelas itu pengurus, bukan anak-anak yang mengatur skor. Otaknya pasti orang dewasa. Nah, untuk anak-anak yang dibina dengan model begitu bisa diharapkan seperti apa coba?
Apa yang terjadi dalam pembentukan timnas Indonesia kali ini sangat wajar dan baik. Pilihan realistis, ketika menghadapi masalah pelik dalam pembinaan sepak bola. Terlihat dari permainan di PON Sumut- Aceh  yang mengedepankan kekerasan dan wasit kinerjanya layak dipertanyakan tersebut.
Pembinaan yang dipahami dengan baik para penggemar bola bahwa banyak masalah, namun oleh sebagian kecil elit, itu dianggap sebagai sebuah prestasi dan harus dipertahankan, naif rasanya. Hasil kerja keras pihak-pihak yang terkait mau dimentahkan para pemuja berisik ini. Hanya orang aneh yang maunya kalah asal  lokalan.
Susah maju, ketika tidak ada apresiasi, sikap nyengkuyung yang semestinya untuk sebuah gagasan. Ribet dan ribut pada pekerja, dan yang cuma menghasilkan sampah malah didiamkan saja. Hal ini selalu saja demikian. Mau di dunia  politik, usaha, ataupun olah raga.
Mosok pertandingan ala PON belum cukup membuka mata Rocky Gerung dan Peter F. Gontha sih? Mau lebih parah lagi?
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI