Belajar Menang dan Mendapat Piala dari Qatar
Menarik apa yang dipertontonkan oleh tuan rumah Qatar dalam perhelatan Piala Asia U-23. Bagaimana mereka menang atas Timnas Indonesia dengan memberikan dua kartu merah yang sangat debatable, karena unsur tidak tepat keputusan wasit lebih dominan.
Lebih terkonfirmasi, ketika melawan Jordania mereka seri hingga babak normal selesai. Pada akhirnya tambahan waktu 10 menit hingga menit ke 13 baru bisa mencetak gol. Apakah hal ini normal dan wajar? Bisa saja iya, namun cenderung tidak, jika hanya sekali itu kebetulan, kalau sudah dua kali seperti ini kog aneh.
Malah banyak netizen yang kembali mengungkit bagaimana mereka juga juara Piala Asia senior dengan tiga gol semua pinalti. Aneh saja, mengapa pinalti harus tiga sih, mestipun benar-benar pelanggaran, Â kadang wasit mengabaikan, karena pasti akan menjadi polemik, satu atau dua gol pinalti di final itu bisa jadi ramai, lha ini tiga.
Apa yang dipertontonkan itu, meskipun masih bisa diperdebatkan, namun perlu menjadi pembelajaran bersama bahwa apa yang mau diraih, prestasi, juara, atau piala itu berjenjang, bukan instan. Contoh sepak bola ya pembinaan usia dini dengan sangat baik, komprehensif, dan terstruktur. Â
Peringkat liga dan juga timnas mereka memang cukup unggul  di Asia dan juga peringkat FIFA, namun toh belum setenar Jepang, Korea Selatan, atau tetangga yang baru bergabung Australia. Qatar juga belum cukup terdegar suaranya pemain mereka main di liga top Eropa, belum memberikan jaminan sekuat itu untuk juara dalam berbagai kejuaraan.  Tim negara lain belum ngeper dulua, seperti jika menghadapi Korsel dengan pemain liga Inggrisnya.
Malah terdengar ketua komite wasit adalah penggede penyelenggara liga mereka, sayang jika memang benar-benar mumpuni namun malah terciderai dengan kisah-kisah buruk tersebut.
Lain dengan apa yang dilakukan oleh Timnas Indonesia, cara instan yang dilakukan Shin Tae Yong dengan melihat persoalan di sepak bola Indonesia kemudian mencari jalan keluar dengan cepat. Masalahnya adalah disiplin pemain, cara bermain bola yang keliru, dan pemain titipan. Soal titipan ini ditekankan pada pelatih Timnas U 16, Nova Ariyanto, wakilnya di kepelatihan timnas senior agar menolak titipan, ini sangat buruk.
Maka, Shin Tae Yong memilih untuk menggundang pemain keturunan Indonesia untuk menjadi WNI dan membela timnas Indonesia. Hasilnya cukup menjanjikan. Bisa menang atas Vietnam yang bertahun-tahun terakhir selalu kalah atau kesulitan. Hal positif. Sangat terbuka bisa lolos fase grup piala dunia dan Piala Asia U-23, wong menang perdana ini saja sudah gegap gempita.
Ia sudah mencanangkan akan membuat pusing Korsel jika lolos, negara asalnya akan dibuat pening, itu janji yang tidak main-main. Selama ini yang ia janjikan sudah terbukti.
Pilihannya mengambil pemain keturunan untuk mengubah tabiat buruk timnas yang biasa tidak disiplin. Hal positif yang benar-benar mengubah. Pemain jadi berdedikasi atas permainannya.
Lebih menarik, ketika penjaga gawang Indonesia bisa menggagalkan tendangan pinalti dari pemain Australia. Ini sikap mental yang baik, bagaimana mereka atau ia tidak takut duluan melawan pemain negara lain. Hal yang   sering terlihat bahwa mereka ketakutan dulu melihat nama besar Jepang, Korea Selatan, Australia, di Asia Tenggara ada nama Thailand, Vietnam, pernah kesulitan menghadapi Singapura, Philipina, bahkan sekadar Laos, miris. Takut duluan.
Sikap mental yang dibangun STY dan pemilihan pemain keturunan yang menularkan keberanian dan sikap berjuang ini sangat krusial. Hasilnya terlihat. Mental, bukan soal skil.
Peran media yang membesar-besarkan nama negara lain kadang juga membuat mental pemain negeri ini ngeper duluan. Sekaligus membuat pemain ini menjadi viral dan sering kali kemudian kehilangan fokus. Ngartis dan kemudian skil bolanya terlupakan, ingat masa U-19 yang sempat menjadi harapan kala itu. hancur berantakan. Pun Diego Michiels mengaku bahwa kebiasaan pemain sini menular ke dia, bukan sebaliknya. Padahal banyak yang tidak baik atau kurang pas, contoh soal disiplin.
Proses dan perjuangan yang dilakukan STY layak mendapatkan aspresia, namun masih kurang dalam membangun liga, karena tanpa liga yang baik, susah membuat timnas keren, berprestasi, dan berkelanjutan. Pemain-pemain ini, yang menjadi andalan STY memang masih cukup muda, namun untuk 8-10 tahun ke depan?
Federas, PSSI yang kudu gerak cepat dan kerja keras untuk memperbaiki keberadaan liga. Kompetisi yang bisa menyiapkan pemain berkualitas, bukan sekadar ingat bingar soal transfer dan polemik pemmain atau pelatih asing. Bagaimana membangun mutu pertandingan liga yang kompetitif.
Pembinaan usia muda yang serius bukan sekadar banyak dan marak, namun nendang saja keliru. Hal-hal penting yang seolah belum tergarap dengan semestinya oleh federasi. Â Paling riuh rendah pemilihan ketum, namun ketika menjabat tidak memberikan kontribusi, selain bicara penyelenggaraan liga, penyerahan piala, dan kalau ada pertandingan timnas. Â Tanpa ketua federasi atau organisasi pun bisa kalau hanya demikian. Panitia saja cukup. Â Â Â
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H