Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pemain Timnas Sepak Bola Indonesia Tidak Cukup Hanya Bakat

31 Maret 2024   14:46 Diperbarui: 31 Maret 2024   14:52 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemain Timnas Sepak Bola Indonesia Tidak Cukup Hanya Bakat

Salah satu pelatih asing yang bekerja menangani tim di Liga Indonesia mengritik naturalisasi STY.  Tukang racik tim yang baru bekerja setahun ini sebenarnya belum cukup waktu dan mengenal karakter dan model pesepakbola di Indonesia itu seperti apa. Terutama ketika sudah mendapatkan label timnas, langganan lagi.

Komentar salah satu netizen, dan juga ada Kompasianer yang mengatakan, pemain sepak bola Indonesia untuk timnas tidak cukup hanya bermodal talenta atau bakat saja. Benar, bakat atau kemampuan alam sangat berlimpah. Ini tidak salah. Hanya saja amatan pelatih asing tersebut masih perlu waktu untuk paham secara utuh.

Talenta muda di Indonesia tidak akan pernah kurang, apalagi dari Mutiara Hitam, selalu ada dari generasi ke generasi, tetapi toh prestasi timnas juga mentok kalau tidak dikatakan malah merosot beberapa tahun terakhir. Hanya dalam hitungan bulan ini saja sangat menjanjikan.

Penyakit pemain bola di Indonesia itu bahasa netizen adalah sindrom bintang, kalau istilah saya ngartis. Apa maksudnya? Mereka ini, pemain berbakat itu mudah silau akan gemerlapnya menjadi bintang, kemudian terlena dan hilang.

Ngartis bagi konsep saya adalah, tenar karena skil bagus, dielu-elukan, kemudian kenal artis, keluar masuk media untuk wawancara, dapat pasangan artis, hilang.  Hal yang identik juga dijadikan komoditi oleh pihak-pihak tertentu sehingga malah abai akan permainan bola hilang fokus, dan nantinya juga kehilangan masa depan.

Suka atau tidak, skil mereka, bakat, talenta, dan kemampuan mereka adalah bermain bola. Dunia yang berbeda menjadi selebritas itu, kemudian kehilangan pegangan dan semua hilang. Contoh banyak pemain yang terjebak dalam konteks ini. Sindrom bintang atau ngartis ini.

Lebih sadis lagi, netizen mengatakan tidak bisa dibina. Sarkas yang sangat keras, namun memang benar. Bagaimana bisa talenta atau bakat berkembang, ketika mereka tidak mau dibina, dilatih, dan malah kehilangan fokus karena silau akan dunia glamor yang membuat mereka tenar dengan sekejap, namun juga cepat lenyap.

Pelatih STY tahu betul dengan karakter ini, dari pada mengubah kepribadian yang memang habitatnya demikian, enak memang mengambil pemain jadi dari luar negeri. Sebagian penghujat tidak juga memberikan solusi lebih jitu.

Lihat saja pemain asing separo lebih di klub. Enam pemain asing itu berlebihan, liga di sini beda kelas dengan Liga Eropa, terutama liga papan atas, seperti La Liga, Seri A, atau Liga Inggris. Mereka sudah matang, profesional, dan juga tahu dengan baik, latihan, tanding, dan hidup pribadi.

Pelatih asing juga begitu banyak di liga, toh sepanjang sejarah juga belum memberikan kontribusi yang cukup signifikan, baik untuk klub apalagi timnas. Belum bisa bicara banyak di level regional, masih jagoan kandang sendiri.  Terlalu jauh jika bicara timnas.

Harga pemain dan pelatih yang gila-gilaan, namun sekadar sensasi dan bukan prestasi. Hal ini juga membunuh talenta muda, bukan hanya naturalisasi yang membuat bakat itu tidak bermanfaat. Kembali hal ini berkaitan dengan capaian klub dan timnas.

Apa yang dilakukan STY dan federasi saat ini jauh berbeda, bertahun lalu, naturlisasi pemain-pemain gaek, menjelang usai pensiun, mereka sudah melampaui usia emas mereka. Tidak memberikan kontribusi yang cukup besar. Lihat yang sekarang ini, di bawah 23 tahun. Memiliki rentang waktu yang sangat panjang, bisa berkarir untuk timnas satu dasa warsa, sangat matang.

Pemain berasal dari klub lumayan gede, bukan dari liga antah barantah, asal asing saja. Hal yang membantu mengubah tabiat pemain Indonesia yang susah dibina sebagaimana dibahas di atas. Profesionalitas mereka sangat mempengaruhi kebiasaan pemain lain.

Proses dan perjuangan, ini sering dilupakan oleh anak negeri ini. Gegap gempita   dan pujian yang sering membuat melambung dan kemudian terjerembab. Berkali ulang kog terjadi demikian. begitu bagus kemudian melempem dan hilang. Ada Alfred Riedel, Pieter White, Luis Milla, dan kini STY. Jangan lagi hanya sejenak memberikan harapan kemudian kabur entah ke mana.

Pisahkan bola, agama, dan politik. Tidak akan memberikan kebaikan, malah memperburuk. Bola ya  biarkan saja di sana, tidak usah diberi embel-embel afiliasi dan ideologi yang malah merugikan. Hal ini ada yang menyoroti, kebanggaan menjadi pemain timnas yang tidak kuat. Maka, mereka kalah sebelum bertanding. Kini, ketika Malaysia dan Vietnam sudah mulai keder duluan, mainkan itu dengan melepaskan atribut lain yang tidak penting.

Beri dukungan penuh pada tim pelatih yang memang sudah bekerja keras, memutar otak untuk bisa banyak bicara, bukan sekadar menjadi tim pelengkap di arena pertandingan. Selalu ikut seleksi piala dunia, piala Asia, namun mentok di putaran grup, dan kadang juru kunci, kini mulai diperhitungkan lawan-lawan, kembali menjadi perbincangan negara-negara kompetitor, jangan dipatahkan semangat ini.         

Perbaikan liga dan juga profesionalisme federasi sangat penting. Ini tidak akan bisa naturalisasi, hanya kehendak baik yang bisa mengubah keadaan. Jangan sampai hanya jalan di tempat.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun