Perlu diingat, pernah dalam suatu masa di mana dengan Laos saja penggemar sudah cemas, khawatir, dan takut karena sudah tidak lagi superior. Apalagi menghadapi Thailand, dan Vietnam, wong dengan Malaysia saja sering kerepotan.
Naturalisasi bagi sebagian pihak dan pengamatan itu jelek, bukan sebuah capaian. Nah, melihat keberadaan persepakbolaan Indonesia yang demikian, suka atau tidak, memberikan porsi pada pemain   keturunan untuk membela dan memperbaiki sepak bola Indonesia tidak ada yang salah.
Skill permainan dasar jelas bukan tugas STY selaku pelatih kaliber timnas, kelas piala dunia lagi. Susah mengubah karakter, gampang ya ganti dengan pemain yang sudah jadi dan mau belajar. Sederhana.
Pola makan, jelas pemain profesional, bermain di Eropa lagi, mereka jelas tahu banget kebutuhan nutrisi, bukan sekadar keinginan makan dan enak semata.Â
Gampang, mereka bisa menularkan budaya baik ini, dan itu pastinya sangat mudah terjadi, yang menjadi harapan pelatih tentunya. Sederhana bukan?
Kedisiplinan, banyak faktor yang terbangun dengan disiplin ini, bagaimana pemain akan tahan staminanya jika mereka disiplin berlatih, menjaga pola makan, dan memilih asupan gizi yang mereka perlukan.Â
Tidak berleha-leha untuk turun ke lapangan, fokus pada latihan dan pertandingan, bangga menjadi pemain timnas, tidak gentar menghadapi tim besar, itu modal yang mendasar.
STY menanti empat tahun, namun dengan gegas dan tegas membuang beberapa tahun usia pemain, sehingga sekarang termasuk pemain muda yang ada di timnas senior. Mereka tentu saja lebih mudah dibentuk dan diatur. Usia main mereka juga jad jauh lebih panjang.
Berharap timnas bicara banyak sekarang ini ada dasarnya, bukan sekadar kebetulan atau dewi fortuna semata. Â Apalagi hanya modal ngasal target atau ikut ini dan itu.
Menang itu proses, bukan hanya hasil pertandingan sesaat. STY mengajarkan banyak hal. Federasi harusnya mengikuti perubahan itu.
Terima kasih dan salam