Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sampah Makanan, Hari Pangan, dan Ketahanan Pangan

9 Oktober 2023   14:13 Diperbarui: 9 Oktober 2023   14:19 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pertengahan Oktober dunia memperingati Hari Pangan Sedunia. Tahun ini lebih menarik karena bertepatan dengan mulainya gelaran politik dalam pilpres. Salah satu poin dari para kandidat adalah mengeai ketahanan pangan. Presiden Jokowi berkali ulang menyoal hal ini, salah satu program andalan, yang ternyata gagal dalam aplikasi karena persoalan politis.

Penanggung jawab dan pelaksana yang tidak mampu memahami apa yang presiden kehendaki, inginkan, dan tentunya angankan. Eh malah salah satu motor penggeraknya, yakni Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo kena kasus KPK.

Padahal sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan, jika program ketahanan pangan akan sukses di tangan Ganjar Pranowo, padahal jelas-jelas penanggung jawab program ketahanan pangan saat ini adalah Prabowo. Keduanya bakal kandidat presiden di pemilihan presiden 2024.

Ketahanan pangan, namun juga sekaligus gaya hidup membuang makanan, ini sangat paradog. Menggenjot produksi untuk memberikan jaminan pangan tidak akan kekurangan, namun tidak ada penghargaan atas pangan yang ada.

Konon, kata LSM yang berkecimpung dalam isu-isu lingkungan, Indonesia penyumbang sampah makanan nomor tiga di dunia, setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat. Miris. Mencapai 40% lebih, meningkat tajam dari tahun 2021.

Sebelum bicara mengubah pola pikir dan cara bijak mengurangi sampah makanan, artinya menghargai rezeki, pemberian Tuhan Allah berupa makanan,  toh yang sudah terlanjur bisa diubah menjadi pupuk.

Eco enzim. Sampah makanan nabati, seperti sayur-sayuran, sisa nasi, kecuali daging, ikan, dan susu dicampur dengan air, gula atau tetes tebu atau molasis, diberi bakteri contih EM4 bisa menjadi pupuk cair, pengganti pengharum lantai waktu ngepel. Ramah lingkungan, dan bukan kimia buatan.

Kedua, pupuk, dikomposterkan dengan penambahan tanah, sampah rumah tangga, kalau yang ini bisa ada limbah daging, telor, ikan, atau olahan susu.  Bisa dengan menggunakan plastik tebal atau beli di toko --toko online sangat mudah   dan relatif terjangkau. Jadi pupuk padat, atau tanah siap tanam.

Ketiga, bisa pula dijadikan tepung daging, ikan, atau tulang. Bisa menjadi pupuk, pakan hewan peliharaan. Memang agak susah dan ribet, namun sebagai upaya menanggulangi sampah makanan ini bisa menjadi sebuah tawaran solusi atas keberadaan sampah makanan yang    demikian besar.

Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk PLN dan matinya lampu bukan? Toh perilaku ugal-ugalan kala makan itu sudah begitu mengerak. Toh masih bisa disadari untuk diubah.

Satu, biasanya makan sesuai takaran, kalau mengambil makanan prasmanan, apalagi di tempat kondangan, merasa "gratis", aji mumpung karena memberikan sumbangan gede, atau alasan konyol lainnya.  Sikap  mental.

Identik dengan alasan sudah membayar, sehingga merasa berhak membiarkan sisa banyak tanpa mau tahu, masih banyak orang yang tidak bisa makan. Ini kesadaran yang perlu kerja keras dimasukkan melalui pendidikan di sekolah, masukan pemuka agama ketika kotbah, pengajian, pendalaman iman, bukan semata surga-neraka saja.

Dua, kesadaran bahwa makanan itu tersaji di meja makan, mau restoran atau meja makan pribadi itu melibatkan begitu panjang rantai produsen dan juga distributornya. Jika memberikan penghargaan demikian, pasti tidak akan tega membuang-buang makanan.

Bayangkan berapa banyak orang terlibat menanam padi, menjadikannya beras, membawa beras ke toko atau pedagang, menjadikannya itu nasi, menyajikan, dan seterusnya, belum lagi lain-lainnya. Menyakiti begitu banyak orang jika membuang-buang itu, perlu menjadi sebuah kesadaran dan gaya hidup.

Tiga, sisi spiritual, mengaku beragama, religius, dan bahkan dikit-dikit menodai agama, Tuhan, tetapi dengan gampang menyia-nyiakan dengan membuang makanan. Hal yang sangat mendasar dan untuk itu perlu penanaman nilai agama bukan sekadar ritual dan apalan, namun mengamalkannya.

Bagaimana penghormatan atas rezeki, pemberian makanan itu ada kinerja Tuhan, Sang Pencipta. Bisa belajar dari Jerman, bagaimana mereka mendenda pembeli makanan yang tidak menghabiskan pesanannya.

Hal yang bagus, karena penghormatan atas jasa sesamanya yang susah payah menyediakan itu.  Hal baik yang perlu diadobsi oleh negara ini.

Empat, sikap empati yang perlu ditanamkan sejak dini. Peduli begitu banyak orang masih perlu makan, bahwa yang berkelimpahan, tidak kemudian tanpa merasa berdosa untuk membuang makanan karena merasa tidak doyan, tidak enak, atau sudah membayar.

Lima, kesadaran bahwa merasa cukup. Sikap demikian juga akan membuat pola pikir tidak akan menambil atau memesan makanan berlebihan. Namun cukup. Sikap hemat ini jangan terintimidasi menjadi pelit dan kikir. Beda.

Enam, mau berbagi. Jika memang berlebih, ya berikan saja pada yang membutuhkan. Sikap ini sering abai, karena enggan berbagi. Sikap dan pola pikir kelimpahan itu masih sebuah perjuangan.

Keprihatinan bertahun-tahun yang masih saja sama, malah cenderung lebih parah.  Padahal begitu banyak hal yang sangat penting dan mendasar jika bicara sampah makanan.

Tidak perlu dikatakan rakus ketika piring sangat bersih dari sisa-sisa makanan. Gaya hidup dan sikap batin yang perlu ditanamkan, dan itu kadang bertentangan dengan cara pandang budaya tertentu.

Pendidikan dan ceramah agama layak dijadikan sarana untuk menanamkan kesadaran atas penghormatan akan makanan. Menghormati rezeki juga menghormati Pencipta.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun