Demo Rusuh Mahasiswa, Kekerasan Siswa, dan Wibawa Pendidikan
Beberapa hari terakhir, kita disuguhi berita ironis dari dunia pendidikan. Di Bandung, kemarin, aksi yang menyebut sebagai September Hitam melakukan demonstrasi yang berujung ricuh. Sebelum itu ada perilaku kekerasan yang dilakukan anak SMP sampai rekannya patah tulang rusuk. Â Semua dilakukan oleh orang terdidik dengan kadar yang berbeda tentu saja.
Demo mahasiswa dengan membakar ban, memacetkan jalanan, melemparkan bom molotov, ini bukan lagi zaman rezim otoriter, pemerintah dan penguasa yang menutup pintu dialog, DPR hanya tukang stempel, dan sejenisnya. Kini, mau mengadakan dialog, bahkan mencaci maki pemerintah, sering pribadi pejabatnya juga bisa. Buat apa aksi jalanan, demonstrasi yang model demikian.
Dulu, aksi mahasiswa itu membakar ban untuk menarik massa, mencari perhatian pengguna jalan, biar mereka terhalang dan ikut mendukung aksi itu. Kini, semua itu tidak lagi ada gunanya. Menyuarakan pendapat bisa lewat apa saja. Media sosial, jurnalisme warga, ataupun juga langsung ke pihak-pihak terkait. Mahasiwa telat lahir, atau malah pola pikir kuno?
Iya, tidak ada yang salah dengan demonstasi jalanan ala 66 atau 98 itu, tetapi apakah tidak ada jalan lain yang lebih efektif, efisien, dan tidak dengan merusak? Buat apa bakar-bakar, bom molotov pula. Mahasiswa harusnya  membangun bukan merusak. Ada apa kog seolah kekerasan juga jalan satu-satunya mahasiswa?
Anak SMP melakukan tindak kekerasan, menganiaya, memukul, menendang, menghantam perut dengan lutut. Teman-temannya diam saja, tidak ada yang membantu, jika takut bisa kog pergi. Sama sekali tidak ada yang tergerak, malah ada yang mengabadikan dengan video.
Kekerasan kog malah seolah menjadi budaya di dunia pendidikan. Miris melihatnya, hampir selalu terjadi yang demikian.
Melengkapi kisah beberapa waktu lalu, di mana guru kudu minta maaf yang mengabadikan muridnya yang mengamuk. Memang tidak semestinya guru mengambil video anak didiknya yang ngambeg, namun minta maaf ke anak yang arogan begini juga tidak layak. Bagaimana pendidikan negeri ini menjadi kacau?
Mengapa bisa terjadi demikian, kisah-kisah di atas bisa terjadi?
Pertama, perilaku pembela HAM yang salah kaprah. Lihat saja pelaporan polisi, UU yang melarang guru untuk melakukan kekerasan, konteks pendidikan, bukan cengkiling, dikit-dikit gampar, dan penegakan disiplin dengan tangan. Ketika sekali saja menggunakan kekerasan ada laporan polisi dan dipidana? Selesai dunia pendidikan.
Saya bertanya siapa orang tua, yang sama sekali belum pernah, menjewer, mencubit, atau ngeplak anaknya? Itu saja anak sendiri, lha ini anak orang, puluhan pula.  Pelaporan   polisi saya setuju jika guru itu memang dikit-dikit plak, dan sampai ada patah tulang, benjol berhari-hari, membuat panas dingin, dan trauma.
Kedua, berkaitan dengan nomor satu di atas. Sikap orang tua yang berlebihan, padahal mereka sendiri tidak bisa mendidik anak-anaknya sendiri, tetapi ketika guru melakukan sedikit saja kelalaian atau kesalahan, seolah-olah guru itu penjahat.
Ketiga, guru ketakutan dengan melanggar HAM, didatangin orang tua, apalagi membawa polisi atau pengacara, akhirnya leleh luweh, pembiaran, yang penting mereka aman, tidak kena kasus hukum. Gampang, sederhana, dan tidak usah susah-susah. Miris.
Keempat, menyambung poin ketiga di atas. Kinerja buruk guru itu oleh publik malah dianggap biasa, guru yang mendisiplinkan siswa malah bisa kena masalah. Ini terjadi, cek   saja di sekolah-sekolah saat pemberkasan sertifikasi, akan banyak kelas terbengkalai. Anak-anak ribut, tidak ada pengajar karena sibut pemberkasan. Polisi, pengacara, LSM tidak akan ada yang peduli. Padahal dampaknya jauh lebih buruk.
Kelima, viral yang akan menjadi monetasi telah menjangkiti banyak pihak. Kekerasan telah menjadi sarana mencapai ketenaran, viral, dan populer. Ironis, jika anak-anak berpikiran demikian.
Keenam. Pembiaran. Lihat saja bagaimana penyelesaian kekerasan di dunia pendidikan, apalagi berkaitan dengan agama atau ideologi. Semua senyap, selesai, dan diam. Ini adalah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Ketujuh, menyambung poin enam di atas. Itu adalah keteladanan yang diberikan pada siswa-siswi, menyontoh apa yang diperlihatkan di depan muka mereka. Susah dibenahi, jika tidak disadari.
Kedelapan. Suguhan kekerasan yang tidak ada habis-habisnya. Mau media arus utama, atau media sosial sama saja. Caci maki, hujatan, ancaman, seolah hal yang wajar, normal, dan tidak salah.
Kesembilan, kadang itu apa yang disebut di poin delapan, juga dilakukan elit, pemuka agama, tokoh publik yang sering menjadi panutan. Lagi-lagi adalah contoh, keteladanan, dan pembiaran saling silang.
Kesepuluh, beban pendidikan yang tidak membumi sering membuat anak frustasi. Kegiatan ini dan itu yang jauh dari fungsi pendidikan banyak terjadi.  Beban yang  tidak lagi tertanggungkan, sangat mungkin menjadi biang masalah yang berujung frustasi.
Padahal dunia pendidikan harusnya bicara mengenai kekayaan intelektual, kreatifitas, dan riset bagi kalangan mahasiswa. Â Lihat saja, bagaimana riset dan hasil inovasi negeri ini, minim. Ide, gagasan, apalagi sudah merambah produk sangat kurang,
Terlalu banyak celaan, komentator, dan tidak melakukan apa-apa. Mereka ini  terlalu banyak, dan eksis. Penyemangat tidak ada, malah cenderung lebih banyak pematah arangnya.
lembaga pendidikan kadang mencetak pembeo, pencari aman, dan tidak ada inovasi di sana. Â Tidak ada lagi harapan jika melihat hal-hal di atas. Kesadaran dan kemauan kuat ntuk menyelesaikan semua ini.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H