Saya bertanya siapa orang tua, yang sama sekali belum pernah, menjewer, mencubit, atau ngeplak anaknya? Itu saja anak sendiri, lha ini anak orang, puluhan pula.  Pelaporan   polisi saya setuju jika guru itu memang dikit-dikit plak, dan sampai ada patah tulang, benjol berhari-hari, membuat panas dingin, dan trauma.
Kedua, berkaitan dengan nomor satu di atas. Sikap orang tua yang berlebihan, padahal mereka sendiri tidak bisa mendidik anak-anaknya sendiri, tetapi ketika guru melakukan sedikit saja kelalaian atau kesalahan, seolah-olah guru itu penjahat.
Ketiga, guru ketakutan dengan melanggar HAM, didatangin orang tua, apalagi membawa polisi atau pengacara, akhirnya leleh luweh, pembiaran, yang penting mereka aman, tidak kena kasus hukum. Gampang, sederhana, dan tidak usah susah-susah. Miris.
Keempat, menyambung poin ketiga di atas. Kinerja buruk guru itu oleh publik malah dianggap biasa, guru yang mendisiplinkan siswa malah bisa kena masalah. Ini terjadi, cek   saja di sekolah-sekolah saat pemberkasan sertifikasi, akan banyak kelas terbengkalai. Anak-anak ribut, tidak ada pengajar karena sibut pemberkasan. Polisi, pengacara, LSM tidak akan ada yang peduli. Padahal dampaknya jauh lebih buruk.
Kelima, viral yang akan menjadi monetasi telah menjangkiti banyak pihak. Kekerasan telah menjadi sarana mencapai ketenaran, viral, dan populer. Ironis, jika anak-anak berpikiran demikian.
Keenam. Pembiaran. Lihat saja bagaimana penyelesaian kekerasan di dunia pendidikan, apalagi berkaitan dengan agama atau ideologi. Semua senyap, selesai, dan diam. Ini adalah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Ketujuh, menyambung poin enam di atas. Itu adalah keteladanan yang diberikan pada siswa-siswi, menyontoh apa yang diperlihatkan di depan muka mereka. Susah dibenahi, jika tidak disadari.
Kedelapan. Suguhan kekerasan yang tidak ada habis-habisnya. Mau media arus utama, atau media sosial sama saja. Caci maki, hujatan, ancaman, seolah hal yang wajar, normal, dan tidak salah.
Kesembilan, kadang itu apa yang disebut di poin delapan, juga dilakukan elit, pemuka agama, tokoh publik yang sering menjadi panutan. Lagi-lagi adalah contoh, keteladanan, dan pembiaran saling silang.
Kesepuluh, beban pendidikan yang tidak membumi sering membuat anak frustasi. Kegiatan ini dan itu yang jauh dari fungsi pendidikan banyak terjadi.  Beban yang  tidak lagi tertanggungkan, sangat mungkin menjadi biang masalah yang berujung frustasi.
Padahal dunia pendidikan harusnya bicara mengenai kekayaan intelektual, kreatifitas, dan riset bagi kalangan mahasiswa. Â Lihat saja, bagaimana riset dan hasil inovasi negeri ini, minim. Ide, gagasan, apalagi sudah merambah produk sangat kurang,