SBY Ngundhuh Wohing Pakarti?
Semalam Pak SBY mengadakan rapat internal namun disiarkan via media internet. Artinya itu sekaligus konpres, pernyataan sikapnya secara resmi. Yang menarik adalah mengapa Pak Beye, bukan AHY selaku ketua umum? Aneh dan lucu. Ini yang pertama sebagai catatan, ketika ada teman yang membagikan videonya.
Malah melihat video curhat sampai hampir sejam. Menunggu teks yang dikeluarkan media, dan pagi tadi membaca Kompas dan persis seperti dugaan, isinya kemarahan, kejengkelan, dan membawa-bawa politik pada ranah agamis. Â Itu hak Pak Beye yang lagi baoer, tantrum, dan perlu diterima.
Beberapa hal layak dicermati, mengapa perilaku  demikian sampai menimpa SBY, AHY, dan juga Demokrat? Sampai menyebut itu sebagai penghianatan, sebagai peringatan dari Allah, merasa bersyukur, tapi kog mewek, entahlah.
Pertama, Pak Beye perlu menarik ke belakang, jangan hanya merasa jadi korban. Pernah gak beliau melakukan hal yang sama? Jika sudah lupa, coba telpon Bu Mega, Pak Prabowo, atau Koalisi Merah Putih, Anas Urbaningrum, Antazari, atau Nazarudin. Mereka pasti akan menjawab persis yang Pak Beye alami sekarang ini. Begitu banyak    kisah khianat dari yang kecil hingga gede, Pak Beye, jadi ya biasalah menghadapinya.
Kedua, bagaimana perasaan Bu Mega, hingga hari ini susah untuk bisa wajar  ketika bertemu. Pak Beye tentu ingat ketika mau pilpres pertama kali selaku menteri, bagian kabinet tentu beliau paham etika itu bukan? Coba cek lagi.
Ketiga, Demokrat itu didirikan oleh 99 pendiri konon begitu. Beliau datang untuk mengendarai maju pilpres, ini sama dengan poin dua. Gayung bersambut karena partai mersi belum punya kader mumpuni dan memang mau meminangnya. Nah kini menjadi milik siapa? Itu ada di dokumen negara lho, parpol itu terdokumentasi dengan baik, sangat mudah diakses lagi.
Keempat. Anas Urbaningrum  menang sebagai ketua umum demokratis ala Demokrat waktu itu. Isunya Pak Beye   kurang berkenan dan akhirnya berujung pada bui karena korupsi. Apa perasaan AU hingga hari ini, keluarganya, bahkan sampai bertahun-tahun harus terpisah. Apakah itu khianat? Atau bukan. Toh sangat mungkin ada unsur meninggalkannya. Â
Kelima, Pak Prabowo dan KMP. Bagaimana bisa mengatakan mengusung mereka, namun juga setengah hati. Ini juga terjadi ketika Prabowo dan Sandiaga Uno naik menjadi calon presiden. Bahkan AHY mengatakan, membebaskan kader di daerah untuk mendukung siapa sesuai dengan pilihannya sendiri. Bagaimana perasaan Prabowo coba.
Keenam, masih juga menuding istana, dengan bahasa tidak menuding siapapun, namun memakai pak lurah, menteri kabinet melobi, dan seterusnya. Anak sekolah dasar juga paham kog siapa yang disasar. Coba bayangkan 10 tahun Pak Jokowi diteror dengan tiur de java, narasi utang, isu pembangunan yang tidak perlu, dan negara tidak baik-baik saja.
Pak Jokowi itu lagi bekerja Pak, biarlah beliau melakukan yang bisa, nanti panjenengan ada masanya lagi jika rakyat masih percaya, begitu saja. Toh dulu juga sudah sebagaimana panjenengan nyatakan, 10 tahun memimpin.
Ketujuh, sama persis dulu ketika 2016 mau menyasar Ahok demi kemenangan AHY, Pak Beye mengadakan konpres dan mengatakan istana takut demo dan sampai lebaran kuda, demo tidak akan bisa ditolak. Padahal beliau sendiri marah ketika ada demo. Mosok lupa.
Kedelapan. Bagaimana perasaan Bu Sri Mulyani ketika "dibuang" menjadi pejabat di bank dunia? apakah beliau tanya perasaan menkeunya itu, atau hanya memikirkan kepentingannya sendiri saja? Â Tentu Pak Beye sendiri yang pirsa perasaannya dan pemikirannya itu.
Kesembilan, sering merasa diri menjadi korban, merasa diri bahwa orang lain, pihak lain, dan juga parpol lain tidak suka pada Demokrat, AHY, SBY, dan lingkarannya. Ini ada apa sih? Semua partai juga sama, bersaing, berkompetisi, dan semua juga merasakan dan mengalami yang sama. Toh tidak juga seribet dan seribut Pak Beye.
Nah, sebenarnya sederhana kog, apa yang kudu Demokrat lakukan adalah,
Lakukan saja bagiannya, besarkan partai dan bisa menang  tanpa kudu tergantung pada siapapun. Kek PDI-Perjuangan, yang bisa maju dengan atau tanpa kawan di dalam koalisi. Kan sederhana, tidak perlu merasa ditinggalkan dan meninggalkan. Besarkan partai sehinga mandiri, lah sekarang partai relatif kecil jadi harus bertiga, bukan sorangan bae.
Miliki kader, atau anak, atau siapapun lah  yang mumpuni, berjiwa besar, sehingga mampu mengarungi bahtera berpolitik yang sangat keras. Mengerikan lho berpolitik itu, jika baperan, tidak kuat mental, jadinya melow, tantrum, dan merasa dunia tidak adil. Jika bisa demikian, mau apapun pihak lain kan santai bro, jalanin saja.
Cak Imin kan mengalami yang sama, ditinggalkan Prabowo, dan dia cerdik melompat ke partai lain dan dapat job gede. Sesederhana itu, berhenti mengeluh, merasa terkhianati, move on lah, dan bangun komunikasi yang lebih baik, melaju ke depan. Pilih strategi baru yang lebih oke. Benar, kata-katanya bahwa tidak bisa dipercaya, cari yang bisa dipercaya, dan jaga juga kepercayaan itu jangan ditinggalkan sendiri.
Berhenti meratap dan tatap masa depan. Masih panjang proses, perjuangan, dan dharma bakti untuk siapa saja. Toh pilpres bukan satu-satunya ladang pengabdian. Masih banyak jalan dan cara untuk berbuat bagi bangsa dan negara.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan Â
Ngundhung wohing pakarti= memetik buah perbuatan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI