Rocky Gerung Kali ini kena Batunya, Moeldoko Batu itu?
Jokowi mengatakan, urusan makian bajingan dan tolol itu urusan kecil. Â Terpenting itu kerja, kerja, dan kerja. Selesai sebenarmya. Rocky Gerung tidak perlu panik, dan malah ke mana-mana. Gibran pun mengatakan yang sama, tidak perlu pelaporan polisi, delik aduan sudah selesai.
Kali ini, apakah ini jebakan untuk membawa Rocky Gerung ke depan meja hijau dan merasakan hidup di balik jeruji besi? Â Bereaksi atas sikap Kepala Staf Kepresidenan. Moeldoko pasang badan seperti preman.
Mengapa Moeldoko bisa menjadi batu sandungan bagi keberadaan Rocky Gerung?
Pertama, selama ini, Rocky Gerung itu paham, bahwa Jokowi tidak akan pernah menggunakan kesempatan pelaporan polisi. Pasal yang bisa menjeratnya itu delik aduan. Siapa yang boleh dan bisa melapor dan diterima itu hanya si korban, yang merasa dihina.
Jokowi sudah mengatakan dengan jelas, lugas, dan terus terang. Pun anaknya Gibran melakukan hal yang sama. Tidak akan ada pelaporan. Ini yang selalu diulang-ulang, bukan hanya Rocky Gerung, namun juga banyak politikus yang pansos untuk ketenaran diri.
Demokrat, Amien   Rais, Refli Harun, Said Didu, Fadli Zon, dan begitu banyak pelaku lainnya. Ujungnya juga sama. Tidak pernah menjadi kasus hukum. Menguap begitu saja.
Kedua, Moeldoko yang dikatakan bak preman. Pelaporan oleh Moeldoko sangat mungkin. Ingat kejadian Luhut dengan Haris Azhar  juga melaju di persidangan.  Hal yang bisa terjadi di dunia demokratis. Jangan merasa bahwa demokrasi itu bebas njeplak juga.
Sikap pribadi  begini boleh dan dijamin UU, sikap Pak Jokowi yang membiarkan itu juga hak pribadi, tidak ada yang salah. Sangat wajar. Pilihan bebas bahwa merasa tersinggung dan juga nama baiknya dicemarkan, silakan saja.
Ketiga. Mau mengatakan Moeldoko sebagai pribadi, dia juga kesleo, wong mengatakan juga sebagai staf kepresidenan, dia harusnya mengademkan. Pribadi dan jabatan yang ia nyatakan, membedakan mana pribadi mana pejabat, dia saja kebingungan. Mau sok-sokan mengritik, tapi dianya sendiri otoriter.
Keempat, jika yang melaporkan ke polisi adalah Moeldoko, jauh lebih aman dan tidak akan bisa dikaitkan dengan pemerintah, negara diktator, dan bla... bla... karena itu adalah pribadi dan jabatan Moeldoko jauh dari pemerintahan secara langsung yang bisa dipolitisasi, sebagaimana jika itu Jokowi atau keluarganya yang melaporkan.
Ingat SBY saja pernah membawa Eggy Sujana masuk bui dengan pasal ini. Hal yang  wajar sebenarnya jika Jokowi pun membuat laporan polisi.  Malah lebih tepat, jika Moeldoko ini saja yang membawanya ke balik penjara.
Kelima. Sarana untuk menegakkan hukum dan demokrasi dengan baik. Warga negara juga harus patuh pada hukum, bukan seenaknya sendiri bicara dan kemudian menuduh yang dihina itu antikritik.
Bedakan kritik, maki, dan juga menghina. Kritik itu pasti bukan penghinaan, tidak berdasar pada kebencian, ada upaya memperbaiki keadaan yang dikritikannya. Contoh, presiden kekeh soal Ibukota Baru, kritik, terlalu mahal untuk memindahkan ibukota, benahi Jakarta misalnya, tanpa embel-embel.
Menghina, mengurus Jakarta saja gak becus, sok-sokan memindahkannya ke lain tempat, apalagi sudah keluar kata bajingan, tolol, pula.  Mosok sih     tidak bisa membedakan?
Keenam. Membuat tertib hidup bersama yang lebih sehat. Pembiaran itu tidak memperbaiki keadaan. Pilihan Pak Jokowi itu juga baik, namun belum tentu pengganti-penggantinya nanti bisa menerima keadaan itu seperti apa yang ia pilih. Bisa  menjadi runyam ketika kebiasaan buruk itu tidak ada upaya penertiban.
Ketujuh, Â membina sikap bertanggung jawab. Lihat selama ini oposan ketika berbicara dan bertindak dan salah, kemudian membenarkan diri dengan dalih demokrasi. Koridor yang berbeda padahal. Â Membuat kegaduhan itu bukan demokrasi. Berani bertarung dalam pemilu, itulah demokrasi.
Haus kekuasaan dan maunya menang, tidak siap kalah, ini juga berkaitan dengan sikap bertanggung jawab. Berani menang dan siap kalah, maju lagi bertempur lagi, dan siapkan amunisi yang lebih untuk menang. Tidak membuat gaduh seolah-olah pemenang itu berlaku curang dan kudu dijatuhkan. Pecundang.
Kedelapan. Demokrasi itu memang menjamin kebebasan, termasuk bersuara dan berpendapat. Namun jangan lupa kesantunan dan sikap bertanggung jawab. Merasa oposan, namun tidak pernah mau menanggung risiko atas apa yang ia nyatakan.
Lihat saja selama ini mengaku demokratis, namun caci maki yang ada. Itu bukan  kebebasan bersuara, namun melampiaskan kemarahan dan kedengkian, bukan ranah demokrasi, namun bar bar dan hukum rimba, siapa kuat dia menang, dengan cara buruk.
Kesembilan, kedewasaan berdemokrasi sedang diuji. Bagaimana orang berselisih namun kepala tetap dingin, tetap bijak, taat hukum tanpa asumsi. Hal ini yang selama ini jauh dari alam demokrasi kita. Hanya ngotot-ngototan, dan sering tanpa dasar yang benar.
Kaum terpelajar, elit, pejabat, dan kalangan atas itu kudu memberi contoh yang baik, masyarakat akan mengikuti. Jika di barisan paling top itu malah memberikan keteladanan buruk, ya suka atau tidak, yang di bawahnya jauh lebih buruk. Miris.
Terima kasih dan salam
Susyharyawan  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H