Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kota Ramah Anak dan Fakta yang Ada

24 Juli 2023   11:16 Diperbarui: 24 Juli 2023   11:20 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Ramah Anak dan Fakta yang Ada

Kota ramah anak, kog seolah bombastis banget, ketika di lingkungan kita, terdekat, dalam keluarga, masyarakat terdekat, sekolah, dan aktivitas bermain itu sangat minim. Bagaimana bicara dunia anak itu adalah kebebasan, kemerdekaan, dan keleluasaan bermain dan eksplorasi diri.

Keamanan di jalanan. Bagaimana anak bisa lebih mandiri, ketika orang tua juga cemas melepas anaknya berangkat sekolah sendiri. Lihat di sekeliling, apakah ada jalan untuk pejalan kaki dengan aman? Bahu jalan yang biasa untuk anak berjalan kalau tidak habis, biasanya di jadikan parkir atau malah garasi.

Apalagi jika bicara di kota. Trotoar saja sudah tidak aman, kalau tidak dilewati motor, ada mobil, atau  warung kaki lima. Bisa juga penuh dagangan dari pelapak di sana.  Ini baru bicara keamanan  untuk bisa ke sekolah dengan sangat nyaman, dan maunya juga aman.

Zonasi sekolah sebagai upaya menanggulangi jarak tempuh siswa dalam menuju sekolah juga belum menyelesaikan masalah. Lha dulu pas     membangun tidak bicara soal jarak dengan keberadaan penduduk, cenderung jauh dari pemukiman, dengan asumsi harga tanah. Lihat saja, sekolah-sekolah terutama negeri, biasanya aksesnya susah. Paling ramah adalah motor.

Angkutan umum banyak yang tidak menjangkau sekolah-sekolah tersebut. Akhirnya motor menjadi paling realistis. Kalau sekolah dasar dan SMP antarjemput orang tua. Faktor tanggung jawab, kedewasaan, dan kemandirian tidak tercapai dalam dunia pendidikan.  Tapi mau apalagi coba?

Favoritisasi sekolah. Suka atau tidak, zonasi sekolah mau menghapus sekolah favorit dan pinggiran. Seleksi tidak adil ala sekolah masa lalu, hendak diminimalisasi. Sekolah berdasar  jarak itu mau mengurangi potensi sekolah favorit dan biasa. Ujung-ujungnya juga uang dan model suap untuk bisa masuk sekolah itu.

Mutu pendidikan menjadi rancu, bahkan rusak dengan model demikian. Kalangan kaya atau berada  dan pinter berkumpul di sekolah tertentu. Keadaan yang kurang beruntung ada di sekolah-sekolah biasa, pinggiran, dan sangat mungkin tidak laku. Sekolah bagus itu bisa menambah ruang terus menerus. Bayangkan betapa bobroknya.

Itu pemilihan sekolah era dulu yang memang amburadul. Dampaknya bagi anak jelas. Bagaimana mereka bersaing untuk mengalahkan rekan-rekan sebayanya. Kadang ditambah dengan amunisi dri orang tua dengan kekayaan atau jabatan. Sekolah sudah menjadi ajang rimba liar siapa kuat dia dapat dan menang. Miris.

Dunia anak itu bermain dan bercanda bersama teman-temannya. Main sepeda, main layangan, main tali, petak umpet, atau bola plastik. Semua kini hampir sirna terutama di kota-kota. Ada lapangan futsal atau bulu tangkis, berbayar. Suasana bermain pasti beda, karena ada uang yang harus dihitung akhirnya menang kalah, karena yang kalah bayari misalnya. Unsur bermain, permainan, menjadi hilang.

Bersenang-senangnya berkurang, karena menjadi berkompetisi. Pokoknya harus menang, bagaimanapun caranya. Itu semua dulu tidak ada. Keberadaan ruang terbuka hijau makin sedikit. Lebih banyak cor dan beton di mana-mana.  Watak keras menjadi terbentuk karena penglihatan terus menerus ini.

Orang tua yang paranoid. Suka atau tidak, banyak orang tua tidak tega, tidak yakin untuk melepaskan anaknya berangkat sekolah sendiri. Sampai SMA pun masih banyak yang diantar-jemput, berbeda dengan satu dua dekade lampau. Apapun alasannya, faktanya lebih banyak anak yang antarjemput dari pada yang berangkat sendiri.

Bermain berkurang, bergaul juga menjadi lebih sedikit. Sosialisasi bersama dengan rekan menjadi minim. Konsekuensi logis atas transportasi dan mekanisme anak dalam berangkat dan pulang sekolah. Dulu, begitu banyak kesempatan dan pengalaman ketika bersama-sama.

Dunia gadget. Makin mengalienasi bersama dengan kawan. Lebih cenderung menjadi soliter, pribadi, dan sendirian dalam beraktivitas. Bersama dengan pihak lain, namun tidak berinteraksi secara langsung. Ada jarak, bahkan maya. Ini fakta yang memang sudah menjadi sebuah budaya baru.

Kota ramah anak, namun juga perlu paham dunia mereka. Bagaimana pendidikan, hidup, dan kebersamaan mereka itu ada jurang. Mau teknologi, budaya, dan juga komunikasi. terbentur pula politik, ekonomi-bisnis, dan kepentingan. Contoh, mengenai pembangunan sekolah di tempat-tempat yang tidak terjangkau.

Alat transportasi massal yang belum menyeluruh, akhirnya orang tua antar jelput, atau bahkan menggunakan motor. Ini adalah kebijakan, mau tidak mau bicara juga mengenai politik. Kebijakan, dan kepemimpinan.

Ruang terbuka hijau itu juga politik, kebijakan kepemimpinan. Berani atau kadang memang tidak ada visi untuk menyediakan itu. Lihat saja    berapa tahun keadaan itu tidak lebih baik. Pembangunan masif mengenai ruang terbuka hijau belum lama ada.

Pembangunan jalan tanpa bahu jalan, trotoar tidak ada itu juga karena karena keputusan kepemimpinan. Bagaimana anak aman di jalan dengan keberadaan jalan raya bak sirkuit maut bagi yang meleng sedikit saja.

Tentu artikel ini tidak fatalistik atau berpikir negatif, namun bagaimana  kebijakan itu perlu juga melihat secara holistik. Tidak sekadar jargon keren, namun tidak bisa dicapai, seolah utopia, padahal kalau mau, semua bisa.

Selamat Hari Anak 2023

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun