Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Viralnya "Pernikahan" Anjing, Mana Lebih Miris?

20 Juli 2023   12:20 Diperbarui: 20 Juli 2023   12:23 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Viralnya "Pernikahan" Anjing, mana Lebih Miris?

Beberapa hari ini, media baik arus utama ataupun sosial disibukkan dengan pembicaraan "pernikahan" anjing.  Hingga hari ini masih terjadi pro dan kontra. Mau menyorot soal tokoh agamanya, atau "adat" yang dipilih untuk memestakan anjing mahal ini.

Belum lagi jika bicara soal beaya yang dikeluarkan untuk pesta super mewah itu. Angka  200 juta hanya untuk membuat pesta bagi anjing. Perawatan si anjing juga berkisar belasan juta kog per bulan. Itu adalah memang hobby mahal bagi kebanyakan masyarakat, tidak demikian bagi yang memang punya duit.

Mengenai pemuka agama yang mau-maunya "menikahkah" si anjing itu pasti memiliki pertimbangan sendiri. Pemberkatan hewan itu memang ada tradisinya. Sama juga dengan pemberkatan rumah, alat-alat pertanian misalnya. Dari sisi ini, tidak ada persoalan. Wajar.

Mengenai "pernikahan", itu kan konsensus, artinya adanya perjanjian di antara mempelai, di antara mereka mana bisa sih, si anjing berdua itu bisa mengucapkan janji pernikahan? Jelas saja tidak mungkin. Jadi pasti tidak ada itu pernikahan.

Penggunaan adat-istiadat, budaya Jawa dalam "resepsi" itu, lha mau giling tebu juga ada pengantin tebu. Bahasa simbol, apakah mereka juga ada konsensus, atau ikatan sebagaimana manusia? Jelas tidak. Toh namanya juga pengantin tebu, juga menggunakan adat-istiadat tertentu.

Pengantin tebu: Kompas.com
Pengantin tebu: Kompas.com

Simpulannya, jangan terlalu baper dan memberikan porsi, perhatian yang begitu banyak atau besar. Jauh lebih memilukan itu pernikahan anak laki-laki SMP dengan gadisnya anak SMA, karena hamil duluan.

Bagaimana pernikahan anak usia remaja seperti ini, mereka pasti di bawah usia 20-an. Masih belasan tetapi harus menjadi bapak dan ibu kurang dari setahun ke depan. Tahun 24 awal mereka sudah berstatus ayah dan bunda. Apakah mereka siap? Tentu mau tidak mau harus dan wajib siap. Namun apakah demikian?

Beberapa hal layak dicermati,

Pernikahan muda, pasti tidak ada persiapan, dalam konteks apapun. Materi, mental, pendidikan, dan seterusnya. Mereka ini pasti masih dalam tanggungan orang tua, namanya juga siswa. Tentu bukan bicara fatalistik, bahwa mereka pasti akan berat, susah, dan seterusnya. Tidak demikian. Namun   hal yang buruk juga perlu menjadi perhatian.

Pertama, usia sangat muda. Kedua mempelai belum cukup umur untuk menjadi orang tua, yang bertugas mendidik. Belum lagi jika bicara mempersiapkan kehidupan mereka sebagai keluarga. Mendidik macam apa untuk anaknya ke depan.

Kedua, sisi ekonomi. Mereka belum berdaya secara ekonomi. Bisa saja anak sultan yang tidak bersusah payah dan khawatir. Namun jika tidak? Orang tua kedua belah pihak masih juga punya tanggungan. Nambah jika ada cucu. Makin berat.

Ketiga, pendidikan. Bagaimana jaminan pendidikan dari orang tua yang masih berpendidikan dasar seperti ini. Ingat, bukan  bicara soal belum tentu. Namun, keteladanan seperti apa yang bisa anak-anak berikan pada generasi berikutnya.

Paling-paling nanti yang merawat adalah kakek-neneknya. Kecenderungan membiarkan, pokok meneng, dan sejenisnya jauh lebih dominan. Simbah itu biasa memanjakan cucu, karena beda ketika itu anak. Nah,   ini adalah persoalan baru.

Keempat, kesehatan. Unsur terpaksa itu jelas besar. Tidak mungkin rela hati berhenti sekolah untuk menikah.  Masa-masa awal pernikahan mungkin belum merasa ada masalah. Berjalannya waktu, sebulan, setahun?  Teman-temannya berangkat sekolah tahun ajaran baru, eh mereka menjadi pengantin baru.

Bagaimana anak lahir dari anak-anak juga. perlu perhatian lebih dari pusat layanan kesehatan setempat. Risiko tinggi, stunting, belum lagi jika itu ada masalah lainnya. perlu melihat keluarga besar kedua pasangan. Adakah yang ABK, atau masalah kesehatan dan kejiwaan.

Usia-usia segitu mana tahu hidup dan makan sehat sih? Yang penting enak, gurih, manis, dan asin ekstrem sebagaimana dijajakan depan sekolah atau mini market adalah asupan utama.  Jika demikian, bagaimana dengan janin dan bayinya?   

Kelima, visi atau minimal pengetahuan berkeluarga.  Asumsi yang mendasar sih, mereka, anak-anak remaja ini menikah, kemungkinan terbesar adalah karena "kecelakaan" karena melakukan aktifitas seksual, hamil, dan mau tidak mau menikah. Nah, orientasi, fokus, pengetahuan dasarnya adalah itu saja.

Hidup berkeluarga tidak semata seksual. Jauh lebih komplek, bagaimana  harus memahami pasangannya.  Seksualitas, berlaku sebagai anak dari orang tua, kekasih dari pasangan, calon orang tua, bagian dari masyarakat. Itu semua tidak akan sesederhana pemikiran anak remaja.

Benar, bahwa naluri akan membantu dan membawa kemudahan. Jangan terjebak dengan konsepsi sederhana ini, bisa jadi lebih buruk. Nah ini fokusnya, memberikan perhatian pada hal-hal yang belum tentu mudah.

Lambe tangga, mulut tetangga itu tidak ada rem. Baik saja dicela, apalagi buruk. Apakah mereka akan membantu jika ada masalah? Susah   mengharapkan mereka bisa mengulurkan tangan.

Keenam. Peran sosial. Tanggung jawab remaja itu ada pada sisi main, belajar, dan konsentrasi pada tumbuh kembang yang optimal. Nah, peran hidup bermasyarakat itu kompleks, apakah mereka sudah siap jika harus hidup bersama dengan lingkungan.

Ada tanggung jawab sosial jika di desa. Kerja bakti, sambatan, nyumbang itu hal yang sederhana namun juga berat.  Bapak dan ibu itu bukan lagi anak atau lajang. Apakah mereka mampu melalui perubahan peran yang tiba-tiba itu?

"Pernikahan" anjing itu sepele. Gaya hidup oleh orang yang sudah kelebihan duit. Jadi, pasti juga nanti akan  terlupakan jika ada persoalan viral yang baru.  Namun, pernikahan anak ini sangat komplek dan akan terus terulang. Permisifnya orang tua sekarang menghadapi pergaulan yang makin longgar dan bebas.

 Kewibaan dan otoritas orang tua yang makin lemah. Banyak orang tua yang tidak lagi mampu menegur apalagi melarang anaknya. Makin ugal-ugalan saja anak generasi ini. Jauh lebih penting dan urgen pernikahan anak bukan, dari pada "pernikahan" asu itu.

Belum lagi jika ini bicara mengenai tahun politik. Bisa ke mana-mana ujungnya. Ada budaya berarti etnis, ada agama, ada keceburuan sosial yang sangat mudah dimanfaatkan pihak-pihak yang mau mengambil keuntungan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun