Al-Zaitun dan Sekolah Selamat Pagi Indonesia, Kontroversi Dunia Pendidikan
Ingat, ini bukan menelaah atau mengupas soal agama. Mengenai pendidikan, dan dunia pendidikan yang karut marut. Bulan ini ribuan orang melakukan demo menuntut bahwa Al- Zaitun untuk dibubarkan dengan berbagai dalih dan alasan yang jelas sahih bagi para pendemo. Â Â Wajar ketika Wapres Ma'ruf Amin ikut urun rembug.
Menyangkut agama, pesantren, dan  ribuan orang yang belajar dan juga mencari makan di sana, perlu kehati-hatian. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, bersama MUI pusat dan daerah membuat tim investigasi mengenai aksi dari warga sekitar dan juga keprihatinan yang sempat dan masih merebak.
Perhatian nasional karena keberadaan pesantren terbesar di Asia  Tenggara ini menjadi kewenangan Kementerian Agama. Sebenarnya kasus atau kontroversi pendiri pesantren ini bukan hanya kali ini. isu NII, masalah tanah, dan juga pemalsuan dokumen telah pernah menjerah Panji Gumilang berurusan dengan penegak hukum.
Lembaga pendidikan yang berdiri di atas lahan 1200 hektar ini, aktivis dan pengamat terorisme Ken Setyawan mengatakan, bahkan mencapai 3000 hektare tanah yang dikuasai oleh YPI ini. Luar biasa. Â Â
Jadi ingat, bagaimana tahun lalu, pertengahan 2022 juga negeri ini dihebohkan oleh Sekolah Selamat Pagi Indonesia. Sekolah yang berbasis bisnis dan menggratiskan siswa-siswinya, karena mereka juga bekerja di sana itu menyimpan sebuah tindak kekejian, kalau tidak terlalu kasar biadab.
Menurut pengakuan dan laporan media, di sana ada kerja paksa, sekolah gratis itu hanya sebuah trik mendapatkan "karyawan" muda, murah, dan mudah. Kekerasan seksual juga terungkap. Akhirnya vonis 12 tahun penjara dari PN setempat.
Menjadi heboh dan sorotan publik adalah, tidak ada penahanan, bahkan sampai sidang berlangsung. Padahal potensial  menghilangkan barang bukti, mengintimidasi saksi-korban, atau melarikan diri sangat besar. Usai viral di media barulah dia ditahan.
Perhatian dari skala nasional sama sekali  tidak ada. Komnas HAM, Komnas Anak, juga sama sekali tidak terdengar. Berbeda ketika bicara Al-Zaitun ini. Berkaitan dengan  agama, yang sangat sensitif, dan bisa ruwet jika dibiarkan.
Panji Gumilang ini berbeda   kedudukan dan kasusnya dengan Ko Juli pemimpin, pemilik, dan pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia. Berkaitan dengan agama, aliran sesat, dan sejenisnya menjadi riuh rendah dan semua pihak merasa berhak untuk menuding dan menghakimi. Soal agama, silakan telaah sendiri.
Tulisan ini akan berpusat pada pendidikan.
Kedua lembaga pendidikan ini ternyata pernah mengalami "penyanderaan" siswa. Al-Zaitun karena orang tuanya karyawan di YPI kena PHK, sehingga tidak mampu membayar, tunggakan sampai 43 juta. Â Silakan dicek di mesin pencari pasti akan ketemu.
Sekolah SPI Indonesia juga pernah memperlakukan siswa-siswinya menjadi pekerja tanpa pernah sekolah. Melayani tamu-tamu yang mengagumi konsep keren, yang ternyata tidak sesuai dengan faktanya.
Koordinasi, kooperatif, itu sangat minim. Keberadaan kedua lembaga yang sangat besar itu melindungi banyak kepentingan yang sebenarnya potensi untuk melanggar hukum. Pihak lain, termasuk negara tidak bisa hadir dan meminta klarifikasi.
Keduanya sama. Sikapnya identik, merasa gede, benar, dan tidak akan bisa salah, pembinaan negara diabaikan. Pemanggilan, komunikasi, dan bentuk klarifikasi dimentahkan sepihak. Negara kalah.
Pro dan kontra selalu hadir. Pembelaan bak babi buta versus perlawanan yang sama kuatnya. Hal yang aneh dan lucu sebenarnya. Bagaimana bisa kebenaran dan kejahatan bisa sama kuat. Tidak akan mungkin demikian, jika dunia pendidikan kita waras, baik, dan benar.
Mengapa sampai ada yang membela mati-matian, padahal jelas-jelas ada korban. Ini memperlihatkan bahwa ada yang salah dalam dunia pendidikan kita, sehingga memahami persoalan juga saling sengkarut.
Lembaga bisa tidak salah, namun oknum, pemilik, pendiri, pemimpin, atau orang-orang di sana sangat mungkin dapat berbuat keliru dan salah. Kebanggaan pada korp, lembaga, atau institusi sering menjadi pembenar atas perilaku buruk, bahkan jahat para person di dalam lembaga itu.
Ini yang membuat pro dan kontra. Padahal pendidikan sudah seharusnya memampukan membedakan, memilah dan memilih. Mana yang salah dan buruk dan mana yang baik atau benar. Tidak ada    kejahatan atau kebaikan itu secara menyeluruh. Nah yang mau ditangani adalah kekeliruan, kesalahan, dan yang tidak benar ini.
Lembaganya tidak salah, bisa jadi. Orang-orangnya  berpotensi keliru bahkan salah dan jahat. Biarkan penegak hukum meneliti, menyelidiki, meminta klarifikasi, dan lakukan. Jika tidak salah, mengapa kudu takut. Masalahnya adalah di sini.
Sering pelaku jahat itu berlindung dan berkedok pada lembaga, yang telah berbuat baik bagi sekian banyak orang, sehingga mendapatkan pembenaran dan pembelaan mati-matian. Persoalan tidak pernah selesai, karena memang tidak pernah diselesaikan.
Membedakan pribadi dan perbuatannya saja masih bingung. Lihat ketika mengaku mengritik, namun menyoal mengenai penampilan, agama, atau latar belakang pribadi itu jelas salah. Kritik soal kebijakannya atau tulisannya jika itu penulis. Toh selama ini campur aduk.
Relatif sama, menyelesaikan masalah susah, ketika membedakan perilaku jahat dengan pribadinya, pun soal lembaga atau perbuatan baiknya yang lain. Ini kemampuan. Atau malah sudah  diperkeruh oleh kepentingan?
Esensial dan artifisial saja pada bingung, jadi mana yang penting atau hanya sampingan itu dianggap sama saja. Kemampuan memahami masalah menjadi kacau.
Jangan sampai terulang lagi dan lagi. Pembelajaran mahal, perlu waktu lama untuk pulih dan menjadi baik lagi.
Terima kasih salam
Susy Haryawan
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H