Wisuda Sekolah Dasar dan Menengah, di Antara Gengsi dan Prestasi
Hari-hari ini banyak orang tua yang lagi galau. Apalagi jika memiliki anak sekolah, pada tahap akhir, TK, SD kelas VI, SMP kelas IX, dan SMA-K kelas XII. Â Fokus pada jenjang selanjutnya, pun persiapan untuk perpisahan atau apapun namanya. Miris, ketika kini, banyak tayangan lini massa mulai TK saja sudah mengenakan toga dan namanya juga wisuda. Â Â
Dulu, wisuda hanya untuk status mahasiswa strata-1, sarjana yang telah melampaui pendadaran karya ilmiah, yang namanya skripsi. Kini, anak TK, SD, yang menulis, membaca, Â berhitung saja belum tentu bener, sudah juga wisuda.
Pekan kemarin, ketika membantu guru di sebuah sekolah negeri, saya bukan guru, hanya membantu mengajar sebuah mata pelajaran, pas mengisi raport, mendengar dialog guru matematika dan murid yang remidi. "Berapa 6:2?, tanya guru muda itu.
Cukup lama si siswi memikirkannya. Beberapa saat baru keluar angka, dan itu masih terlihat dan terdengar ragu. Sama sekali tidak yakin. Padahal idealnya anak kelas XI itu sudah sebuah jawaban spontan.
Usai si anak keluar untuk mengerjakan tugas, saya mencoba bertanya kepada Pak Guru itu?
"Apakah    ini efek pandemi?"
"Bisa saja demikian Pak...." sambil geleng-geleng kepala antara bingung, geli, gemes, cemas berbaur jadi satu.
"Saya mengajar itu hampir separo waktunya untuk mengajarkan kembali matematikan dasar, perkalian, pembagian sangat sederhana, termasuk kelas XII," lanjutnya.
Tidak lama setelah ibadah Jumatan kembali hadir kisah pilu, "Kamu, punya adik, atau saudara SD?" tanya Pak Guru.
"Ada Pak..." Â kelihatan dan terdengar bingung.
"Kelas berapa?"
"Dua..."
"Lah pas, belajar perkalian dan pembagian pada adikmu lagi ya...."
Terlihat, terbukti, bahwa kelas XI SMK harus belajar bareng dengan anak kelas II sekolah dasar, matematika dasar lho ini, bukan hitungan yang rumit dan njlimet.
Beberapa hal layak dicermati mengenai fenomena ini;
Pertama, sekolah yang diwajibkan menaikkan siswa-siswinya. Tanpa mau tahu kemampuannya sudah layak naik kelas atau belum. Masalahnya tidak terselesaikan, namun menunda masalah, bayangkan hitungan sesederhana itu jika di dunia kerja seperti apa?
Kedua, keberadaan HP, jelas juga kalkulartor sangat mudah digunakan. Nah, hitung-hitungan sederhana begitu tidak mampu. Padahal ini penting juga dalam hidup sehari-hari.
Ketiga, mumpet, pembelajaran klasikal membuat anak didik bersembunyi di balik kemampuan teman-temannya. Pribadi demikian biasa juga mlipir, lari dari masalah.
Keempat, peran guru yang terjerat UU Pendidikan, takut polisi, takut Komnas HAM, Komnas Anak, Â membuat guru tidak bisa memaksa anak untuk belajar keras. Takut disalahartikan dan malah dipolisikan, bisa celaka.
Kondisi yang tidak ideal ini sungguh terjadi di dunia pendidikan. Belum lagi bicara mengenai ideologi dan politik yang masuk juga dalam dunia pendidikan. Miris, pendidikan sudah tidak karu-karuan.
Berkaitan dengan "wisuda" ada beberapa hal yang layak dicermati;
Satu, itu adalah acara seremoni, sama sekali tidak penting, apalagi mendasar sebagai sebuah kegiatan pendidikan. Upacara yang bisa dikemas dengan bentuk lain.  Belum lagi jika bicara   soal keuangan.
Kedua, anak-anak, SMP, ada cucu tetangga yang kesulitan menyewa jas, karena badannya sangat kecil, Â berapa uang yang harus keluar, belum lagi kesulitan yang tercipta, hanya demi kata "wisuda."
Berbeda dengan wisuda sarjana, mereka sudah dewasa, jauh lebih mandiri. Anak-anak itu ngerepotin orang tua.
Ketiga, hanya soal bijak atau tidak. Beban orang tua perlu juga menjadi perhatian. Â Bisa dipikirkan bentuk lain, misalnya parade seni per kelas, ungkapan syukur atas keberhasilan kakak-kakaknya, adik-adiknya memberikan apresiasi dan bentuk dukungan. Apa adanya, tidak usah harus pakai seragam yang mahal-mahal.
Keempat, perlu ditekankan, sekolah fokus pada pendidikan kognisi yang dibarengi dengan budi pekerti, kedisplinan, dan moral yang baik. Tidak perlu banyak meribetkan sisi spiritual dengan aneka kegiatan agama yang ada tugas lembaga lain.
Anak sudah jenuh dengan segala aktifitas pendidikan, tidak perlu beban lain yang tidak mendasar dan berkaitan dengan pendidikan secara langsung. Malah jadinya kacau.
Kelima, negeri ini terlalu kreatif untuk hal-hal yang  tidak esensial dan mendasar, namun menghasilkan proyek. Seperti piknik, seragam, kini perpisahan, wisuda-wisudanan, dan seterusnya.
Perbaikan satu muncul masalah lain. Selalu begitu. Calistung dihilangkan dari TK, eh kini wisuda sejak TK, seragam dibebaskan beli di luar, kemampuan kognisi herehek.
Perlu kerja keras semua  pihak, guru terlalu asyik ngurus sertifikasi, galau karena belum juga ada kesempatan, yang sudah dapat kepikiran mau beli apalagi  ya kalau uang cair. Kemampuan diri tidak banyak perubahan. Mutu peserta didik juga relatif turun, apalagi jika bicara mengenai tata krama, moral, dan kepedulian.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H