Berkaitan dengan "wisuda" ada beberapa hal yang layak dicermati;
Satu, itu adalah acara seremoni, sama sekali tidak penting, apalagi mendasar sebagai sebuah kegiatan pendidikan. Upacara yang bisa dikemas dengan bentuk lain.  Belum lagi jika bicara   soal keuangan.
Kedua, anak-anak, SMP, ada cucu tetangga yang kesulitan menyewa jas, karena badannya sangat kecil, Â berapa uang yang harus keluar, belum lagi kesulitan yang tercipta, hanya demi kata "wisuda."
Berbeda dengan wisuda sarjana, mereka sudah dewasa, jauh lebih mandiri. Anak-anak itu ngerepotin orang tua.
Ketiga, hanya soal bijak atau tidak. Beban orang tua perlu juga menjadi perhatian. Â Bisa dipikirkan bentuk lain, misalnya parade seni per kelas, ungkapan syukur atas keberhasilan kakak-kakaknya, adik-adiknya memberikan apresiasi dan bentuk dukungan. Apa adanya, tidak usah harus pakai seragam yang mahal-mahal.
Keempat, perlu ditekankan, sekolah fokus pada pendidikan kognisi yang dibarengi dengan budi pekerti, kedisplinan, dan moral yang baik. Tidak perlu banyak meribetkan sisi spiritual dengan aneka kegiatan agama yang ada tugas lembaga lain.
Anak sudah jenuh dengan segala aktifitas pendidikan, tidak perlu beban lain yang tidak mendasar dan berkaitan dengan pendidikan secara langsung. Malah jadinya kacau.
Kelima, negeri ini terlalu kreatif untuk hal-hal yang  tidak esensial dan mendasar, namun menghasilkan proyek. Seperti piknik, seragam, kini perpisahan, wisuda-wisudanan, dan seterusnya.
Perbaikan satu muncul masalah lain. Selalu begitu. Calistung dihilangkan dari TK, eh kini wisuda sejak TK, seragam dibebaskan beli di luar, kemampuan kognisi herehek.
Perlu kerja keras semua  pihak, guru terlalu asyik ngurus sertifikasi, galau karena belum juga ada kesempatan, yang sudah dapat kepikiran mau beli apalagi  ya kalau uang cair. Kemampuan diri tidak banyak perubahan. Mutu peserta didik juga relatif turun, apalagi jika bicara mengenai tata krama, moral, dan kepedulian.
Terima kasih dan salam