Gaya Hidup dan Anak Polah Bapa Kepradah
Akhir-akhir ini, begitu banyak pemberitaan dan pembicaraan mengenai nasib atau keberadaan orang tua, baik karir atau kehidupannya berbalik 1800 karena perilaku anaknya. Kisah pertama ketika Rafael Alun Trisambada berdarah-darah karir dan kehidupannya karena perilaku kekerasan anaknya pada anak lain.
Tidak lama kemudian ada polisi perwira menengah juga kena pecat dan kasusnya menyeret-nyeret karir dan kekayaannya. Lagi-lagi anaknya menghajar rekannya. Miris. Si bapak ada di tempat kejadian anaknya melakukan kekerasan.
Kasus lain adalah Gubernur Lampung dan jajarannya yang merasa jengkel atas kritikan ataupun nyinyiran anak muda, rakyat juga sebentuk anak dari bapak selaku pejabat. Nah bak kebakaran jenggot dan melakukan apa saja. Termasuk ketika ada kunjungan presiden, mendadak jalan mulus dalam sehari.
Pendidikan
Tentu bukan berbiara semata sekolah. Pendidikan dalam konteks ini tentu lebih banyak di dalam rumah tangga atau keluarga. Keteladanan dan contoh sebagai guru utama di tengah-tengah keluarga. Wajar ketika pembina, pendidiknya, orang tua ternyata 11 12 dengan si anak. Tidak mungkin  anak yang dididik dengan lembut melakukan kekerasan.
Pembiaran. Di tengah keluarga cenderung tidak ada damai, kasih sayang, kehangatan sebagai satu keluarga. Bisa jadi rumah bak hotel, halte, atau rumah singgah, tidak saling  kenal. Tentu dalam artian mengenai kerinduan, keinginan paling dalam, tidak sekadar materi.
Anak hanya dididik dan dibesarkan dengan uang, materi, kemewahan, dan keenakan. Lalai cinta dan perhatian. Fokusnya materi bukan kepenuhan jiwa dan mental.
Memanjakan. Â Anak dibiasakan dilayani, karena adanya uang, bisa membayar, si anak dibesarkan dengan kemudahan dan kemewahan bahkan. Sikap ini akan membawa pribadi yang tidak memiliki empati dan simpati. Semua ada dilayani dan sangat mungkin mereka marah ketika layanannya salah atau tidak sesuai kehendaknya.
Abai perjuangan. Proses, usaha itu bagian utuh manusia. Nah, ketika itu semua tidak pernah dilakukan, mereka menjadi pribadi yang abai akan nurani, hati, dan kepedulian. Â Uang bisa membeli segalanya. Padahal hidup tidak juga demikian.
Spritualitas.
Berbicara spiritualitas tentu bukan hanya berbicara ritual agama. Jauh lebih dalam adalah mengenai hidup bersama dengan baik, tenggang rasa, toleransi, tidak memaksakan kehendak, dan hidup dengan damai. Sisi spiritualitas biasanya susah dihayati oleh pribadi yang tidak biasa kerja keras, berjuang, dan mencapai sesuatu dengan mudah.
Pengasahan sisi rohani sangat mungkin lemah. Terbukti bahwa  melakukan kekerasan saja seolah hal biasa, lumrah. Padahal jika pribadi lembut hanya menyakiti hewan saja pasti akan merasa bersalah. Ke mana coba hatinya? Miris, ketika masih juga muda belia namun tidak memiliki kelembutan batin.
Penghormatan pada materi
Tampilan yang sering "pamer" barang mewah, ke tempat wisata mahal, sedikit banyak menepikan relasinya dengan kemanusiaan. Tentu tidak sepenuhnya tepat demikian. Manusia pasti  memiliki sisi baik ataupun buruk.  Melihat kecenderungan kemewahan, biasanya akan abai  terhadap  kemanusiaan.
Orientasi hidupnya pada materi, sangat mungkin mereka juga akan menepikan bahkan menjegal pihak-pihak yang merintangi. Fokusnya adalah materi. Contoh dari kisah-kisah di atas jelas mempertontonkan itu.
Penghargaan akan materi mengabaikan humanisme. Sifat dan penghormatan pada manusia terkalahkan oleh keinginan menimbun. Â Kebetulan semua kog berkaitan dengan materi, gaya hidup, dan kekerasan.
Masyarakat juga lebih menghargai, menghormati, dan menaruh kepercayaan pada orang kaya. Padahal kekayaannya belum tentu hasil dari proses baik. Konsep hidup bermasyarakat yang demikian menyuburkan kejahatan, demi bisa kaya dan dihargai lingkungannya.
Penegakkan Hukum yang lemah
Bisa dilihat, dibaca, dan dicermati bagaimana peradilan negeri ini. Jungkir balik karena uang. Lihat lapas mewah, di lapas bisa jalan-jalan, dan itu bukan maling jemuran maling ayam atau maling kelas coro. Mereka para  pelaku kejahatan kakap termasuk uangnya.
Efek jera tidak ada, apalagi anak-anak yang sudah terbina model demikian juga. Sangat mungkin perilaku kekerasan mereka ini bukan hanya sekali itu. Susah melihat mereka itu melakukan kekerasan hanya  sekali dan itu fatal. Sangat mungkin sejak kecil sudah biasa melakukan hal demikian.
Media hanya tontonan abai tuntunan
Apalagi media sosial yang fokus pada konten dan monetasi. Â Memberikan pembelajaran buruk dan tidak semestinya. Anak-anak yang sudah memiliki bekal penyuka kekerasan sangat mungkin mereka juga menikmati tayangan, tulisan, dan apapun yang berbau kekerasan.
Tayangan terutama televisi juga menonjolkan kemewahan, tongkrongan bagus, jarang menampilkan ativitas kerja, belajar yang bener-bener. Budaya instan yang lebih dominan. Jadi generasi mimpi dan memble, tidak berani bersaing dengan sehat.
Tanggung jawab diambil alih
Bisa jadi anak-anak ini terbiasa dilayani, sehingga tidak memiliki tanggung jawab sama sekali. Terlihat dari kemampuan orang tuanya untuk membayar ART seberapapun untuk melayani mereka. Nah, anak-anak yang dibesarkan tanpa sikap tanggung jawab seperti ini, bisa dipahami mereka menyakiti tanpa merasa bersalah. Belum lagi jika malah dibela atau terbiasa tidak memiliki rasa bersalah.
 Â
Pembelajaran mahal yang sudah seharusnya menjadi peringatan bagi keluarga-keluarga untuk bisa mengatur hidup bersama mereka secara bijak dan seimbang. Jangan sampai pincang dan merugikan semuanya.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H