Viktor Laiskodat, Stunting, dan Sekolah Masuk Pukul 5 Pagi
NTT konon masuk dalam daftar pengidap stunting tertinggi di Indonesia. Mendengar bahwa ada anak yang tubuhnya  kecil, namun  perilakunya lincah, matanya berbinar, dan lari sana lompat sini, eh masuk kategori stunting, hal ini masih bisa diperdebatkan. Beberapa teman dari NTT juga bertubuh kecil, tapi otak mereka luar biasa.
Belum terdengar kata Gubernur Laiskodat mengenai penanganan hal ini. Jelas bahwa  pasti pemerintah pusat telah memberikan arahan, perintah bahkan, dan juga pastinya memberikan dana untuk itu. Stunting itu ke mana-mana dampaknya. Sebagaimana gubernur katakan untuk  tembus kampus favorit di Jawa dan masuk sekolah kedinasan, berarti fisik harus oke dulu.
Sekolah masuk pukul lima itu banyak pertanyaan, urgensinya apa, dari mana pengalaman yang sudah membuktikan, dan bagaimana kesulitan, siswa, guru, dan tenaga kependidikan lainnya harus menyesuaikan dengan kebiasaan yang maju sampai dua jam.
Jakarta yang mengajukan setengah jam itu sarana transportasi jelas sudah tersedia, tidak terlalu banyak kendala. Pun tidak terlalu jauh perubahan, hanya setengah jam. Sangat wajar, alasannya pun bukan demi disiplin, mengurangi kemacetan di jalanan.
Beberapa hal layak dicermati, bagaimana perubahan jam belajar dijadikan acuan pendisiplinan dan bisa masuk sekolah kedinasan dan favorit:
Pertama, disiplin itu bukan soal maju atau mundur. Namun bagaimana tepat waktu. Contoh, selama ini apakah masih ada   anak dan juga guru yang terlambat masuk pukul 7, itu berapa persen? Jika sudah tepat masuk semua, seratus persen setiap tahun itu jelas bagus. Disiplin. Apa iya, malah maju dua jam dan lebih disiplin?
Sepertinya belum ada kajian, buktinya, sudah diundur menjadi pukul 5.30 dan dua sekolah saja, bukan seluruhnya. Pantas ketika ditanya wartawan kau pikir sendiri, sebagai jawaban.
Kedua, salah satu kata-kata Laiskodat yang mengatakan, anak tidur pukul 22 dan bangun pukul 4, tidur enam jam cukup untuk anak-anak, ini juga ngaco. Anak-anak, siswa sekolah itu minimal tidur delapan jam. Tumbuh kembang anak sangat bagus jika istirahat, termasuk tidur itu cukup atau pas. Malah dipangkas.
Ketiga, jika poin kedua itu diabaikan, bukan tidak mungkin, 10 tahun ke depan  angka stunting anak-anak di NTT semakin tinggi. Persoalan serius hanya karena kebijakan yang dinyatakan tanpa kajian mendalam.
Keempat, NTT itu banyak talenta muda yang sangat berkelas, masuk kelasnya UGM, ITB atau sekolah lain sangat mudah. Memang kalau kedinasan masih banyak terkendala pada keterbatasan fisik. Tapi penanganannya bukan menggunakan perubahan lebih awal masuk sekolah juga.
Jauh lebih pas adalah peningkatan gizi. Kemampuan kognisi tidak kalah kog. Beberapa teman dari NTT ekselen bahkan, juga yang berbadan besar, tegap, dan siap masuk sekolah kedinasan juga banyak.
Kelima, seminari di NTT Â banyak, bisa menjadi rujukan sekolah berdisiplin dan berkarakter. Pendidikan yang membawa anak-anak NTT merajai hidup membiara seantero Nusantara. Tanpa disiplin mana bisa mereka sampai ke Sulawesi, Sumatera, dan jangan salah Jawa juga banyak lho dari sana.
Tidak hanya yang laki-laki, perempuan juga banyak yang berkompeten, biarawati sangat banyak berasal dari NTT. Bisa dicek, biara di mana-mana pasti ada anggotanya yang berasal dari NTT.
Keenam, yang perlu diubah itu cara pandang. Bahwa hidup membiara itu nomor satu, lainnya itu sampingan. Ini yang terjadi dan bisa diyakini mau masuk kampus sekeren apapun, jika bukan seminari dan masuk biara, bukan hal yang membanggakan bagi mereka.
Soal kebanggaan. Artinya, mau menyelesaikan masalah dengan tanpa tahu akar masalah sebenarnya.
Ketujuh, jauh lebih tepat adalah pengadaan sekolah mewah, gratis, dan itu benar-benar unggulan. Lepas dari KKN, namun karena benar-benar kemampuan intelektual, integritas, dan fisik yang prima.
Dana bisa dari pemerintah dan mencari sponsor tentu saja. Â Ini jauh lebih realistis, anak-anak tinggal sekolah, mikir studi, bukan membantu orang tua, makan apa nanti, dan juga memikirkan tetek bengek yang menghambat studi.
Jika ini yang dilakukan, sepuluh tahun ke depan anak-anak ini sudah mentas, stunting turun, dan kedisiplinan lebih tinggi. Wong tinggal mikir nilai baik saja.
Kedelapan, bisa dicek, mengapa seminari itu banyak dituju anak-anak di NTT, pendidikan murah, bagus, dan menjamin masa depan mereka. Tinggal contoh saja itu, mudah, murah, dan tidak kontroversial. Tentu ini bukan soal bicara agama, namun bagaimana pendidikan bermutu dan murah itu bisa. Dana dari mana saja bisa lah diusahakan, mosok tidak bisa sih
Jika melihat poin itu semua, yakin Viktor Laiskodat akan mengatakan, kajian kami mendalam, tidak akan keluar, kau pikir sendiri. Â Lha yang membuat keputusan siapa, yang disuruh mikir siapa, kan lucu.
Anak-anak itu perlu dididik dengan baik, bukan malah jadi ajang coba-coba tanpa kajian mendalam, bahkan banyak yang tidak sesuai dengan pakem yang ada. Lihat saja psikologi perkembangan anak. Itu standar minimal, bukan muluk-muluk lho.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H