Apakah ada pertentangan antara kisah inspiratif di atas dan pernyataan Buya Syafei?
Sama sekali tidak. Mengapa?
Kisah-kisah di atas adalah konteks personal, privat, bukan ruang public seperti media dan media social. Begitu banyak dampak yang berimpilkasi jika di media social disikapi dengan model si guru atau singa tersebut. Ruang kendali yang berbeda.
Pengajaran pada keledai atau si murid bodoh itu masih mampu dijalankan. Lain dengan  ruang public yang sangat massif gaungnya.
Media social, literasinya rendah, dan memang ada kepentingan yang menggaungkan, bisa ke mana-mana dampaknya, jika si waras itu tidak bersikap. Membiarkan kejahatan merajalela dengan hoax, pemotongan data, atau  pemutarbalikan fakta.
Almarhum Buya Syafei sudah menyebut pihak-pihak itu tidak waras dan sumbu pendek. Artinya sangat krusial, harus segera ditanggulangi, bukan dibiarkan sebagaimana si murid atau keledai di atas. Mereka, contoh ilustrasi itu kontesnya adalah waras namun keras kepala.
Kesadaran. Perlu kesadaran si macan, sip inter, dan juga dari guru atau singa. Mereka sadar bahwa mempersoalkan berlebihan hal itu sia-sia. Dampaknya hanya pada dua pribadi itu, berbeda dengan tampilan di media social. Bagaimana mereka membagikan itu dengan begitu cepat, padahal itu adalah hoak.
Ujung-ujungnya meminta maaf, padahal sudah demikian banyak yang terkena tipu daya dan mereka percaya. Ujungnya bisa sangat jauh dan dampak perbaikannya sama sekali tidak terasa. Hal inilah yang membedakan.
Ada istilah bahwa orang jatuh cinta, penggemar bola, dan pendukung politik itu sudah seperti orang yang tidak bisa diberi tahu. Literasi bukan hanya memberi tahu pada yang bersangkutan, si keledai atau murid bodoh, namun bagaimana public perlu paham dan tahu keadaan yang sesungguhnya.
Sepakat dengan almarhum Buya Syafii bagaimana ruang public, media social dipenuhi orang tidak waras dan sumbu pendek. Ngamukan, merasa diri benar, intimidatif, dan tidak mau tahu apapun selain yang sudah ia Yakini. Pathok bangkrong yang kudu dikikis, apalagi jika mereka juga memaksakan kehendak orang kudu sama dengan mereka.
Memberi pengaruh, menghasut, memfitnah, dan juga memaksakan kehendak. Konteks ilustrasi di atas si murid dan keledai tidak menghasut, menyebarkan pemahamannya, apalagi memaksakan bahwa paham, pengetahuan, dan keyakinannyalah yang benar.