Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Belajar Logika dari Banjir Jateng-Ganjar dan Nasrudin Hoja

3 Januari 2023   11:29 Diperbarui: 3 Januari 2023   11:49 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar Logika dari Ganjar- Banjir Jawa Tengah dan Nasrudin Hoja

Banjir melanda pesisir Jawa Tengah di penghujung tahun 22 dan awal tahun 23. Hal yang menarik adalah apa yang Ganjar lakukan. ia menerobos banjir dan masuk ke rumah pompa. Didapati dua pompa rusak, satu sejak cukup lama, satunya baru saja rusak.

Keadaan mendesak, poma untuk mengalirkan air ke laut itu ngadat. Teknisi yang Ganjar langsung telpon mengatakan, karena banjir tidak bisa menuju ke rumah pompa untuk memperbaiki. Apa yang Ganjar katakan sangat logis dan menohok. Saya bisa sampai sini, berarti sampeyan, teknisi itu juga bisa sampai ke tempat itu.

Apakah ini dinas terkait atau pihak ketiga, sama saja. Apalagi itu kog dinas yang abai akan tanggung jawab. Benar, bahwa banjir memang membuat tidak bisa dengan leluasa menuju pada rumah pompa yang harus mendapatkan perbaikan.

Menjadi lingkaran setan jika bersikukuh begitu. Cara biasa kata Ganjar, ini keadaan luar biasa, penanganannya juga kudu luar biasa. Memang  kudu kerja cerdas sekaligus keras. Lha bagaimana tidak jika bersikukuh karena banjir perbaikan pompa tertentu.

Padahal pompa itu salah satu bagian vital untuk menanggulangi banjir. Jika petugasnya bersikukuh menunggu banjir surut, lha buat apa perbaikan pompanya? Apalagi satunya sudah rusak cukup lama. Seolah-olah ini adalah benar. Logis, rasional, dan prosedural. Padahal jika mau berfikir lebih jauh, buat apa pompa rusak di tengah banjir, ada teknisi yang bisa memperbaiki, namun kudu menunggu banjir surut?

Jadi ingat kisah Timur Tengah, Nasrudin Hoja, yang dalam salah satu kisah satirnya menceritakan 10 orang buta yang mau menyeberangi sungai. Cerita ini sering saya pakai menjadi ilustrasi tulisan karena sangat menarik dan banyak terjadi. seolah-olah logis, padahal tidak sama sekali.

Kesepuluh orang buta itu bersepakat membayar satu dinar perorang atas bantuan Nasrudin untuk selamat menyeberangi sungai. Satu demi satu lancar sampai tepi sungai seberang. Pas orang kesepuluh ini paling aneh, setiap diberi tahu kanan eh ia malah melangkah ke kiri, ketika disuruh melompat, ia malah melangkah dengan pelan. Akhirnya ia terbawa arus sungai karena tidak mendengarkan aba-aba dari Nasrudin.

Kepanikan melanda Nasrudin, yang membuat kesembilan rekan-rekannya juga ikutan panik. "Ada  apa Nasrudin?" tanya mereka panik.

"Oh aku kehilangan satu dinarku," jawab Nasrudin ngasal.

Benar, bahwa Nasrudin kehilangan satu dinar karena ia gagal membawa si buta kesepuluh menyeberang dengan selamat. Namun mereka bersepuluh, tidak ingat kalau mereka kehilangan satu nyawa yang hanyut.

Logika, satir Nasrudin itu sangat tepat. Gambaran orang yang menggunakan kepintaran untuk mengelabui pihak lain. Hal yang biasa terjadi pada kerja buruk birokrasi, politik, dan juga pekerja malas. Sesuai prosedur menjadi andalan, padahal prosedurnya ditafsirkan sendiri dengan seenaknya sendiri.

Si teknisi tadi benar, bahwa memang banjir, tetapi apa yang Ganjar lakukan itu mematahkan kebenaran versi teknisi. Ini lho yang kudunya dijadikan pedoman para birokrat negeri ini, sehingga tidak seenaknya sendiri.

Lha maling, korupsi, dan juga suap dianggap rezeki dari Tuhan. Ngaco yang seolah-olah benar. pungutan liar di sekolah negeri dibalut dengan bahasa agamis, padahal esensinya sama saja, pungutan liar.

Pendidikan kita tidak sampai memilah dan memilih dengan benar dan tepat, karena pilihan ganda yang sangat mungkin menggunakan hitungan kancing baju. Perlu revolusi pendidikan dan cara mendidik.

Agama, ritual, apal, dan abai amal. Sekadar seolah-olah logis, tanpa melihat lebih dalam dan esensial.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun