Benar, bahwa Nasrudin kehilangan satu dinar karena ia gagal membawa si buta kesepuluh menyeberang dengan selamat. Namun mereka bersepuluh, tidak ingat kalau mereka kehilangan satu nyawa yang hanyut.
Logika, satir Nasrudin itu sangat tepat. Gambaran orang yang menggunakan kepintaran untuk mengelabui pihak lain. Hal yang biasa terjadi pada kerja buruk birokrasi, politik, dan juga pekerja malas. Sesuai prosedur menjadi andalan, padahal prosedurnya ditafsirkan sendiri dengan seenaknya sendiri.
Si teknisi tadi benar, bahwa memang banjir, tetapi apa yang Ganjar lakukan itu mematahkan kebenaran versi teknisi. Ini lho yang kudunya dijadikan pedoman para birokrat negeri ini, sehingga tidak seenaknya sendiri.
Lha maling, korupsi, dan juga suap dianggap rezeki dari Tuhan. Ngaco yang seolah-olah benar. pungutan liar di sekolah negeri dibalut dengan bahasa agamis, padahal esensinya sama saja, pungutan liar.
Pendidikan kita tidak sampai memilah dan memilih dengan benar dan tepat, karena pilihan ganda yang sangat mungkin menggunakan hitungan kancing baju. Perlu revolusi pendidikan dan cara mendidik.
Agama, ritual, apal, dan abai amal. Sekadar seolah-olah logis, tanpa melihat lebih dalam dan esensial.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI