Termasuk juga comel pada pelatih yang ditunjuk, dibanding-bandingkan dengan Fergie pas sudah sukses, bukan pas proses. Â
Keempat    ekspektasi penonton yang malah membebani pelatih dan pemain, sehingga permainan mereka tidak lepas bebas. Padahal pemain-pemain dan juga pelatihnya top, karena tegang mereka tidak bisa bermain dengan leluasa. Akhirnya jeblok, dan lingkaran setan di atas kembali lagi.
Fergie sebagai rujukan, tidak sabar pada proses, alumni ribut, dan gantilah pelatih, pemain, dan kembali gagal. Akan terus begitu jika tidak sabar dan menuntut tinggi. Mou saja gagal, apalagi pelatih-pelatih muda.
Kelima, kepanikan pelatih, siapapun yang ditunjuk sangat tidak mudah. Mereka sudah terbebani menjadi nomor satu lagi dengan segera. Padahal kondisinya berbeda. MU sedang membangun ulang, padahal tim lain dengan pelatih yang sudah mulai mapan. Makin susah keluar dari lingkaran setan itu.
Solusinya adalah, semua pihak, terutama ekspemain MU diam, sabar, dan percayakan siapapun pelatihnya untuk bisa bekerja dengan tenang, nyaman, dan enjoy. Ketika tekanan itu berkurang, yakinlah semua bisa kembali pada jalur yang tepat. Fans jadi ikut-ikutan menekan dan menuntut kembali juara.
Ingat, Fergie pada tahun keempat. Â Semua butuh proses. Tidak ada yang bisa bim salabim juara. Membangun tim dengan bayang-bayang masa lalu, pelatih, piala, dan pemain yang hebat, bisa membuat yang sedang bekerja jadi takut.
Apalagi eranya media sosial, siapapun bisa omong dan menekan klub dan itu menjadi malapetaka. Jika mau segera juara lagi, percayakan saja pelatih dan manajemen untuk mengelola. Beri ruang dan waktu untuk bisa membentuk tim yang solid.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan Â