Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Warga antara Harapan dan Kengerian

1 September 2022   09:47 Diperbarui: 1 September 2022   09:50 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurnalisme Warga antara Harapan dan Kengerian

Beberapa waktu lalu, kala mantan Kadiv Propam Polri dinyatakan tersangka dan ditahan, seorang rekan Kompasianer di media sosial mengatakan, selamat pada netizen bisa bobo nyenyak menunggu tugas berikut. Mau mengatakan bahwa tekanan warganet membuat polisi bersikap dengan tegas dan lugas.

Pada sisi lain, bertemu dengan pensiunan wartawan yang sangat tepercaya di negeri ini, yang merasa prihatin keberadaan jurnalisme warga, termasuk juga pegiat media sosial yang tidak ada sama sekali filter dan lembaga yang bisa menjadikan  para pelaku media awam ini bisa dikelola dan diawasi dalam koridor yang semestinya.

Jurnalisme warga, kini hampir semua media memilikinya dengan beragam nama, gaya, model, dan daya tarik   masing-masing.  Keberadaan jurnalisme awam ini menjembatani pelaku jurnalis profesional, arus utama, dan juga media biasa yang banyak memiliki data namun tidak bisa tertuangkan dalam sebuah tulisan.

Begitu ketat media arus utama sehingga keluar menjadi sebuah produk jurnalistik, opini ataupun berita. Ada editor, ada redaktur, ada begitu banyak meja yang harus dilalui sehingga bisa tersaji di depan pembaca.

Ada pula info, fakta, data, ataupun asumsi yang sangat menggoda dan mengganggu  pikiran dan naluri jurnalis, namun sangat mungkin akan tertolak di meja dewan redaksi dengan berbagai kepentingan. Jurnalisme warga menjadi sebuah solusi jitu agar rasa penasaran itu tidak menjadi bisul.

Lihat saja begitu banyak wartawan senior yang juga "nyambi" di Kompasiana. Mereka    saja bisa  menulis yang berbeda dengan apa yang digelutinya dalam dunia profesional, namun tidak sedikit yang menuangkan gagasan saa dengan dunia sehari-harinya.

Harapan

Kala media arus utama sangat mungkin "terbeli" oleh kepentingan. Berapa banyak sih yang terlibat di dalam sebuah penulisan sehingga menjadi opini atau berita? Itu sangat terbuka kemungkinan dijadikan obyek bayaran demi kepentingan sesuatu. Asumsi yang sangat logis.  Mafia, kepentingan politik, atau apapun bisa jadi mengatur apa yang boleh dan tidak ditulis.

Harapan itu ada dalam bentuk jurnalisme warga. Berbeda dengan jurnalis arus utama yang terbatas pelakunya. Dalam jurnalisme warga, siapa saja bisa menulis, siapa saja bisa beropini, dan bisa mendadak menjadi pakar.

Lebih-lebih yang memiliki banyak fans, penggemar, dan pengikut. Mereka ini bisa membentuk opini baru yang diyakini kebenarannya oleh para penggemar fanatiknya.  Ini bisa menjadi harapan, seperti kasus Sambo yang menjadikan polisi bersikap tegas dan cepat mengusut kasus ini, sehingga jauh berbeda dengan kisah awal.

Pun kasus Sekolah Selamat Pagi Indonesia, terdakwa melenggang dengan jemputan mobil mewahnya, karena para korban menggunakan media sosial, akhirnya jaksa dan polisi menjebloskannya dalam penjara. Ini adalah harapan dan juga sebuah terobosan baik.

Saat jurnalisme arus utama mampet, terbelenggu sistem atau keadaan, jurnalisme warga menjadi terobosan dan sebentuk alternatif untuk bisa menyuarakan kebenaran dan keadilan bagi publik. Tentu saja ini adalah hal baik yang bisa menjadi sebuah poin penting dan krusial.

Kengerian

Namanya masih di dunia. Tentu akan ada  hal baik dan buruk, ada dualitas yang tidak bisa dipisahkan. Di balik harapan besar itu ada pula kegalauan dan kengerian. Mengapa?

Jurnalisme warga atau  pegiat media sosial itu tidak ada struktur atau hirarkhi yang bisa menjadi kontrol. Benar, bahwa di Kompasiana ada admin yang memberikan label, contreng, dan bisa menghapus artikel jika melanggar syarat dan ketentuan.

Pun di media sosial juga ada  mekanisme yang senada, dihapus karena melanggar aturan. Toh ini hanya upaya, sebentuk usaha meminimalisasi persoalan yang sangat bisa muncul.

Bagaimana dengan blog atau tulisan di web pribadi? Tanpa kontrol.

Masalahnya di mana memang?

Suka atau tidak, keadaan negara ini masih terlalu banyak hal yang belum semestinya. Contoh, pembentukan opini sebagaimana dilakukan pihak-pihak tertentu dengan cyber armynya, kemampuan literasi warga yang masih lemah, tabiat membaca dan membagi link tanpa tahu isinya, masih terlalu kuat kebiasaan click bait, bahkan oleh media besar sekalipun.

Kesempatan dan sekaligus juga kutuk atau kengerian, kala begitu banyak pegiat media atau jurnalisme warga, media sosial, blogger yang berpikir logis saja tidak bisa namun mengaku-aku pakar dan ahli. Contoh, menuding pemerintah komunis namun juga sekaligus kapitalis. Ini jelas saja ngaco.

Atau mengatakan negara mau bangkrut karena utang, namun juga mengantre BBM bersubsidi.  Jangan dipikir mereka tidak berpendidikan lho, sekelas profesor saja banyak yang menggunakan akal ngaco demikian yang penting viral.

Apa yang bisa dilakukan?

Hukum sosial memang bisa berlaku. Tidak akan ada pembaca, pengikut bagi penebar hoax, tapi toh masih juga banyak karena literasi rendah. Menganimasi untuk warga  gemar membaca dan belajar menjadi penting. Tetapi sangat berat.

Mekanisme contreng seperti media sosial dan Kompasiana itu sangat membantu.  Siapa-siapa yang layak dipercaya tulisan dan buah pikirnya. Ini bukan sebuah solusi jitu sebagai upaya sih patut dijadikan rujukan.

Menuntut para pelaku jurnalisme warga pegiat media sosial belajar  itu sangat tidak mudah. Karena mereka banyak juga yang hanya iseng dan kog mendadak viral. Apalagi ada monetasi. Ini adalah solusi yang baik jika terjadi.

Menanti kesaktian waktu. Siapa benar akan tenar itu masih berlaku, termasuk dalam dunia media warga ini. Namun itu   terjadi jika masyarakatnya cerdas. Lha hoax saja dibela mati-matian kog.  Mencerdaskan anak bangsa menjadi poin penting dan sangat mendasar.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun