Putri Sambo, LPSK, dan Roy Suryo
Suatu hari, beberapa waktu lalu, banyak berseliweran di lini massa yang "menggugat," apa relevansinya pernyataan LPSK dengan Putri Sambo masih tertekan dan tidur berselimut  tanpa make up.  Seolah elit LPSK memberikan dukungan moral pada sisi psikologis istri mantan Kadiv Propam itu.
Publik bertanya, lha emang kurang kerjaan, tidur berselimut dan tidak berrias itu kan wajar malah. Apanya yang aneh dan luar biasa? Mosok begituan saja harus orang LPSK yang omong. Keluarga atau pengacara saja cukup. Â
Usai Sambo menjadi tersangka, LPSK mengatakan Putri tidak perlu mendapatkan perlindungan selaku saksi ataupun korban. Bagaimana pertanggungjawaban secara moral dan profesional sebagai seorang yang dibeayai oleh negara dan bertugas untuk memberikan kepastian keamanan dan kelangsungkan hidup saksi dan korban agar terlepas dari segala tekanan baik psikis apalagi fisik.
Kurang kerja sama yang semestinya. Hal yang lagi-lagi bertentangan dengan pernyataan awal, kala mengatakan bahwa tidur saja seperti itu, tersebut di atas, kog tiba-tiba berubah tidak perlu mendapatkan perlindungan. Ini ada apa sebenarnya?
Kasus yang identik dengan yang di atas. Kisah drama stupa Budha yang dihinakan Roy Suryo.  Bagaimana LPSK menjadi "tameng" bagi mantan menteri di era SBY ini untuk bisa lolos dari lubang jarum masuk tahanan seperti  Mumahad Kace.Â
Padahal kasusnya sangat identik. Eh menggunakan di bawah perlindungan LPSK tidak bisa ditahan. Polisi ternyata tidak takut dengan pelindung itu. perisainya jebol dan diperparah dengan dramanya ngakak di komunitas hobi mahalnya.
Dua hal yang malah memperlemah lembaga resmi negara, dasar hukumnya jelas, diperjuangan sangat panjang oleh masyarakat yang peduli atas keselamatan, keamanan, dan tentu juga kenyamanan baik saksi atau korban. Â
Plus publik atau masyarakat juga sering mendengar atau membaca pemberitaan bagaimana saksi atau dan sekaligus korban itu malah menjadi tersanka dan diproses lebih cepat dari pada laporannya. Silakan cek sendiri jika  mau detail apa yang terjadi di lapangan berkaitan dengan hal-hal demikian.
Poin penting perlindungan saksi dan korban karena bisa menjadi korban baru baik tekanan media, publik,  apalagi jika yang menjadi pelaku itu  tokoh, pesohor, apalagi pejabat, orang gede lah.  Terbaru dan baru berproses seperti kisah SPI dan Mas Bechi Jombang. Pasti korban dan saksi ketakutan, karena toh polisi dan perangkat hukum saja seperti itu. Apalagi orang     biasa, tidak punya apa-apa lagi.
Intimidasi itu sangat mungkin dari siapa saja di Indonesia ini. Kekuasaan sekecil apapun bisa dimanfaatkan menjadi keuntungan pribadi, pasti  dilakukan kog. Apalagi memiliki pangkat, jabatan, pengikut lagi. Semua bisa diatur.
Fakta lapangan yang ada. Seolah rimba pindah ke tanah merdeka, yang belum sepenuhnya bebas dari perbudakan relasi kuasa. Suka atau tidak, negeri ini mayoritas masih berbau feodal. Orang berseragam, berkedudukan, berjabatan, memiliki kekayaan itu warga prioritas. Nah, sikap ini memang disukai beberapa pihak, dan itu maunya dilestarikan.
Nah kembali ke topik, apa kaitan LPSK dengan dua pelaku yang berkait erat dengan pelaku pelanggar pidana. Tanpa mendahului penegak hukum dalam kisah Putri atau mau menertawakan Roy Suryo. Ini hanya melihat sisi LPSK dalam menghadapi dua kejadian dan pribadi itu.
Terlalu gegabah mengeluarkan pernyataan, yang ujungnya belepotan dan ribet sendiri pada akhirnya. Ini sayang sekali lembaga resmi negara bertugas mulia, namun mudah dan murah mengeluarkan pernyataan yang bagi anak kecil pun sudah dianggap ndagel.
Wajar kepolisian membiarkan begitu saja, seolah angin lalu dengan rekomendasi yang diberikan atau dikeluarkan. Pada peristiwa Roy Suryo. Jika itu bukan pernyataan resmi toh tidak ada yang keberatan sama sekali. Jika itu mencatut, seharusnya mereka keberatan dong. Atau minta klarifikasi dan memberikan sebuah rilis yang menyatakan mana yang benar. Bisa jadi  Roy Suryo klaim sepihak.
Kurangnya evaluasi dan kontrol yang memadai. Ribetnya lembaga di Indonesia, jarang ada evaluasi menyeluruh, hanya sebuah seremoni, pada tahun anggaran demi cairnya anggaran tahun berikutnya.
Prosedural. Asal sudah sesuai dengan prosedur, dianggap cukup dan selesai. Padahal begitu kreatifnya anak negeri ini dalam ngakalin yang namanya prosedur. Mau seperti apapun hasilnya asal prosedur sudah dijalankan dianggap baik-baik saja. Lihat belepotannya  WTP ala BPK, apakah pernah ada tindakan apapun ke lembaga amanat UUD ini? Apalagi yang hanya berdasar UU.
Rendahnya azas kapatutan dan kepantasan. Orang sekarang gemar yang namanya viral. Â Mengejar viral ini sering abai nalar dan moral, termasuk elit di manapun berada. Nah di sinilah peran moral itu menjadi penting. Orang paham kedudukan, siapa di balik apa, bukan asal bicara kebebasan berbicara.
Ideologis dan politis. Afiliasi pilihan politik dan ideologi banyak mengacaukan pola pikir elit negeri ini. Nah  mengapa mereka bisa kadang sekonyol itu mengeluarkan pernyataan dan pendapat, karena membela kepentingan yang ada di belakang mereka.
Rendahnya taat azas dan konsensus. Soal uang. Apapun dilakukan karena uang. Mengerikan, karena semua dicapai butuh modal. Jadi tidak heran akan keluar pernyataan konyol sekalipun mereka merasa baik-baik saja, karena ya itu sudah ada uang di balik itu semua. Â Suka atau tidak ini sangat terbuka menjadi rahasia umum.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H