Johnny Plate Dimaki-maki, Paypal Minta Maaf
Entah tabiat dari mana, kini di era medsos, orang dengan gampang memaki. Belum lagi ditingkahi politisasi serba berbau politis. Satu kebijakan bisa menjadi drama berhari-hari, yang ujungnya juga berlaku. Mirisnya memaki dan mencaci tanpa tahu esensi dan juga kegunaannya.
Sekadar mengganggu kepentingannya. Menjadi lebih sulit dari biasanya, dan tidak semudah yang sudah-sudah. Egoisme sektoral, bukan berdasarkan pemikiran untuk tertib hidup bersama. Ribet dan susahnya di negara yang mengaku demokratis, namun masih childish. Pokok e bukan mengenai hal yang mendasar.
Caci maki dan hujatan itu sekarang begitu mudah menjadi sebuah aksi. Seolah tanpa adanya tameng dan saringan. Pada sisi lain mengaku sebagai negara paling agamis. Â Tapi lisannya jauh lebih biadab dari pada negara sekular sekalipun. Ini jauh lebih penting disadari oleh pemangku kebijakan negeri ini berkaitan dengan adab dan juga lisan atau tulisan yang bermutu.
Miris sejatinya melihat negeri ini hiruk pikuk pada caci maki tanpa esensi, kala negara-negara lain lagi berlomba untuk menghasilkan temuan-temuan baru. Matahari oleh China, lumbung pakan oleh Israel di Afrika, atau smartphone oleh Korea Selatan dan China. Mosok di sini hanya menjadi pasar dan dipakai untuk memaki pemerintah.
Lucu dan lebih memilukan, enaknya jadi pejabat di Indonesia itu tidak usah kerja. Para pejabat yang bekerja untuk negeri ini berbuah caci maki. Lihat saja apa sih yang sudah dikerjakan Prabowo, Sandiaga Uno, Zulkifli Hasan, atau bahkan wapres sekalipun. Mereka tidak pernah terdengar dimaki-maki. Berbeda dengan Jokowi, Luhut, SMI, dan kini Johnny Plate juga kena cacian yang tidak karuan.
Paypal, layanan transaksi keuangan yang memang banyak digunakan pelaku dunia digital terkena dampak atas PSE. Peraturan yang memang digunakan untuk seluruh layanan berbasis digital, jadi bukan hanya paypal. Ada apa sampai kena blokade, ini kan yang menjadi poin penting.
Narasi. Kemudian berkembang menjadi caci maki bahkan ke pribadi pejabatnya Johnny Plate, tanpa mau tahu ada apa dan mengapa aturan itu dibuat. Aneh dan lucu, kala aturan itu sejak 2012 sudah digagas. Ada sepuluh tahun baru diterapkan, dan ada penyedia jasa yang ngeyel, malah pejabatnya  yang disalah-salahkan.
Pola pikir dan logika yang sudah kacau balau ini harus disadari bahwa sangat berbahaya. Bagaimana bisa penegakan aturan malah dicaci maki dan yang "melanggar" malah dibela mati-matian. Permintaan maaf oleh pihak paypal menjadi indikasi bahwa mereka memang teledor.
Menjadi riuh rendah karena urusan politik, afiliasi perpolitikan yang abai akan esensi masalah. Perulangan sejak   pemerintahan Jokowi karena banyak penguasa masa lalu tidak bisa lagi berpesta. Plus kepentingan asing yang biasa mendapatkan fasilitas kini kesulitan.
Hal yang  tidak pernah terjadi di masa-masa lalu. Mengapa? Pejabat di Indonesia "menjual" asetnya demi memperoleh fee dari perusahaan asing. Ini rahasia umum yang biasa kongkalikong di masa lalu.  Negara menjadi sapi perah para elit negeri. Kini kala pejabatnya dominan yang berpikir bagi bangsa dan negara, malah dicaci maki oleh pihak-pihak yang biasanya mendapatkan durian runtuh dan kue negeri ini.
Paypal mengatakan permintaan maaf pada konsumen dan kolega mereka sehingga terganggu layanannya.  Narasi wajar. Tanpa menyebutkan dan mengaku bahwa mereka teledor. Ada ungkapan selanjutnya, bahwa mereka akan ikut dan taat aturan di mana mereka melakukan  aktivitas jasanya.
Secara tidak langsung berarti mereka mengakui selama ini tidak taat aturan dan seolah-olah mereka lebih gede dari pemerintah atau aturan negara. Kesombongan perusahaan internasional itu terjadi karena tabiat negeri kita sendiri pada masa lalu.
Kini, netizen yang lebih cepat nulis dan komentar atau nyetatus tanpa mau tahu ada apa di balik itu semua menjadi agen yang menyuburkan arogansi perusahaan gede. Dalih bermacam-macam, yang intinya tidak mau tahu atas aturan yang ada.
Ke mana para pencaci maki kemarin? Ini paypal sudah minta maaf lho. Kebiasaan netizen negeri ini gede omong karena berjarak. Sikap tanggung jawab rendah. Ngeles   tingkat langit. Hal ini diberi contoh dan teladan oleh elit, sehingga seolah benar.
Kedaulatan negara di atas segalanya. Bagaimana aturan negara ya harus ditaati oleh siapapun. Nah, menjadi pertanyaan, jika Indonesia itu kena embargo seperti Iraq, Libia, atau Iran pasti rakyat negeri ini membela pengembargo bukan malah bahu membahu menangani krisis yang terjadi dampak dari hukuman tidak adil itu.
Pantas saja dijajah ratusan tahun susah keluar dari sana. Egois, sok tahu, dan enggan membela kebenaran karena susah. Kemerdekaan ke 77 masih saja identik apa yang dominan rakyat pilih. Kecintaan pada negeri sangat rendah. Memuja yang berbau asing dan luar.
Otaknya manual meskipun mainnya digital. Pegangannya android dan apple tapi lakunya feodal. Â Nyaman dan enggan berubah.
Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H