Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seksualitas dan Naif-Permisifnya Kita

20 Juni 2022   19:44 Diperbarui: 20 Juni 2022   19:48 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seksualitas: tirto.id

Seksualitas dan Naif-Permisifnya Kita

Dua hari ini mendapati  dua tayangan mengenai seksualitas di sekitar kita. Tentu bukan soal kontennya semata yang mau dicermati, namun bagaimana komentar yang ada di sana itu juga penting.  

Pertama, ada sebuah  postingan, perempuan mencari teman untuk liburan ke pulau eksotis. ada janji soal uang, jasa sewa. Menarik adalah tanggapan atau respon seorang istri yang menawarkan suaminya untuk dipakai si perempuan lain demi membayar utang di bank.

Entah benar atau sekadar konten itu tidak yang utama. Namun betapa dengan mudahnya hal itu    di depan mata kita. Sangat mungkin ada suami istri yang berkelahi karena tayangan itu. bapak ibu yang kebingungan menerangkan pada anaknya yang bertanya maksud dari  status itu.

Kedua, ada muda-mudi dengan mengenakan pakaian khas agamis sedang duduk di bangku pinggir jalan. Posisi duduknya si laki-laki duduk dan si gadis rebah di pangkuan si cowok. Ini tidak mau membahas perilaku para pemain dalam video itu, namun bagaimana komentar yang sangat ironis. Ada dua kubu gede.

Satu, yang menyatakan mirisnya bagaimana para pelaku yang menggunakan atribut agama kog bisa berperilaku demikian. Begitu, maaf naif ketika bicara pakaian dan perilaku sehari-hari. 

Lha memangnya masih relevan? Ini skeptisme yang kelas langit memang, karena begitu banyak contoh faktual, baju, kata-kata saleh, suci, dan religius namun perilaku tamak, rakus, bahkan korupsi tanpa malu-malu. Termasuk juga ketika melakukan kejahatan yang lain. termasuk di sini adalah kejahatan atau perdagangan seksual.

Dua, sikap permisif. Bagaimana respon dalam komentar itu menunjukkan anggapan aksi itu sebbagai hal yang lumprah. Padahal tidak juga demikian. Ini  masalah besar karena ranah etika. Kepantasan di tengah masyarakat itu juga masih perlu dipegang erat.

Permisif, dengan tertawa, menilai hal itu sebagai sebuah hal yang biasa saja juga tidak pada tempatnya. perilaku itu tidak patut, karena sangat mungkin mereka bukan pasangan suami-istri. Ada di tempat umum, trotoar di mana banyak orang berlalu lalang, termasuk anak-anak.

Jadi ingat, bagaimana seorang rekan juga bercerita, ketika muridnya bercerita, bahwa mereka, murid SMA-nya berhubungan dengan om-om yang pantas sebagai bapaknya. Mereka mengatakanm bahwa lha kalau dengan pacar, paling hanya enaknya saja. Kalau dengan om-om kan bisa dapat baju kaos, hape mahal dan bagus.

Gaya hidup menjadi prioritas. Ranah moral sama sekali tidak menjadi pertimbangan sama sekali. Relatif sama dengan yang tertawa dan mencibir, bahwa laku anak zaman sekarang memang demikian,

Nah, apakah sikap meremehkan ini juga akan sama, ketika itu terjadi pada anak, ponakan, atau kerabat mereka? Pasti tidak akan seperti itu, meskipun memang akan cenderung juga enggan susah.

Kawan yang mengatakan muridnya memilih om-om dari pada pacar sebaya, juga mengatakan bahwa mak dari siswanya mengatakan, biar saja mereka pacaran atau mau apa, kalau hamil dan minta kawin ya nikahkan saja.

Sepele, sederhana, dan semudah itu. Apakah      mereka akan berpikir mengenai biaya, soal nafkah, kesiapan alat-alat reproduksi, kesiapan mental anak-anak mereka, dan banyak aspek lain. Kawin tidak sekadar membuat anak. yang jauh lebih penting itu mendidik anak yang akan lahir dengan penuh pertimbangan.

Anak itu perlu makanan bergixi, nutrisinya kudu cukup, pendidikan dan pembinaan, tumbuh kembang yang optimal, kesehatan, sandang, papan tentu itu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan bagi anak-anak yang masih harus sekolah.

Mengapa orang tua menjawab demikian?

Mereka tidak ada kuasa, daya, dan wibawa di hadapan anak.  Anak   terbiasa seenaknya sendiri sejak kecil. Displin, bangun dan mandi pagi saja tidak disiapkan sejak dini. Perilaku anak   seturut keinginannya saja, pokoknya diam.

Orang tua tidak lagi mampu mengendalikan kebebasan anak yang sudah sangat kebablasan. Karena mereka sendiri juga tidak punya konsep anak itu harusnya seperti apa. Ungkapan frustasi semata ketika mengatakan ya kalau mau kawin nikahkan saja.

Lingkungan yang mendua. Mementingan tampilan dan ucapan suci, saleh, dan religius, namun abai soal perilaku dan tindak tanduk. Hal yang sangat biasa di tengah masyarakat kita,

Keteladanan. Bagaimana elit, tokoh, pesohor selalu mengenakan atribut keagamaan sebagai lambang kesalehan, namun perilaku dan ucapannya seolah bertolak  belakang. Caci maki biasa saja telontar. Padahal mengenakan atribut religius.

Penghormatan semata atribut, simbol, ritual, sehingga orang msih bingung dengan keadaan yang ada.  Padahal sejatinya    tidak demikian. Tidak cukup atribut itu dikenakan, jika hidupnya tidak selaras dan sepadan dengan apa yang dijalani.

Seks bebas, perilaku mengatasnamakan ekspresi kebebasan dalam ranah seksual itu sudah sangat mengerikan. Anak-anak ketagihan film porno, bapa membuntingi anak, pemuka agama merusak anak didiknya, guru-dosen memaksakan kehendak pada siswi-mahasiswi, relasi kuasa yang semena-men ada di mana-mana.

Fenomena yang luar biasa ini masih sering dianggap biasa. Lihat saja tayangan media sosial, ranah-ranah intim, private, itu malah menjadi jualan yang laris manis. Tayangan yang mempertontonkan gaya hidup semata, kadang menggoda anak-anak muda memainkan jalan pintas. Modal tidak kurang, hasil gemilang.

Tabiat hedon sangat mempengaruhi pola pikir anak muda, termasuk juga orang-orang tua yang sejatinya belum siap sebagai orang tua. Konsekuensi memiliki anak saja tidak paham. Kadang akhirnya menjadi toksik barengan.

Apakah akan demikian terus? Ini seolah belum menjadi pemikiran yang serius. Hanya sebuah kejadian begitu saja.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun