Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seksualitas dan Naif-Permisifnya Kita

20 Juni 2022   19:44 Diperbarui: 20 Juni 2022   19:48 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seksualitas: tirto.id

Nah, apakah sikap meremehkan ini juga akan sama, ketika itu terjadi pada anak, ponakan, atau kerabat mereka? Pasti tidak akan seperti itu, meskipun memang akan cenderung juga enggan susah.

Kawan yang mengatakan muridnya memilih om-om dari pada pacar sebaya, juga mengatakan bahwa mak dari siswanya mengatakan, biar saja mereka pacaran atau mau apa, kalau hamil dan minta kawin ya nikahkan saja.

Sepele, sederhana, dan semudah itu. Apakah      mereka akan berpikir mengenai biaya, soal nafkah, kesiapan alat-alat reproduksi, kesiapan mental anak-anak mereka, dan banyak aspek lain. Kawin tidak sekadar membuat anak. yang jauh lebih penting itu mendidik anak yang akan lahir dengan penuh pertimbangan.

Anak itu perlu makanan bergixi, nutrisinya kudu cukup, pendidikan dan pembinaan, tumbuh kembang yang optimal, kesehatan, sandang, papan tentu itu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan bagi anak-anak yang masih harus sekolah.

Mengapa orang tua menjawab demikian?

Mereka tidak ada kuasa, daya, dan wibawa di hadapan anak.  Anak   terbiasa seenaknya sendiri sejak kecil. Displin, bangun dan mandi pagi saja tidak disiapkan sejak dini. Perilaku anak   seturut keinginannya saja, pokoknya diam.

Orang tua tidak lagi mampu mengendalikan kebebasan anak yang sudah sangat kebablasan. Karena mereka sendiri juga tidak punya konsep anak itu harusnya seperti apa. Ungkapan frustasi semata ketika mengatakan ya kalau mau kawin nikahkan saja.

Lingkungan yang mendua. Mementingan tampilan dan ucapan suci, saleh, dan religius, namun abai soal perilaku dan tindak tanduk. Hal yang sangat biasa di tengah masyarakat kita,

Keteladanan. Bagaimana elit, tokoh, pesohor selalu mengenakan atribut keagamaan sebagai lambang kesalehan, namun perilaku dan ucapannya seolah bertolak  belakang. Caci maki biasa saja telontar. Padahal mengenakan atribut religius.

Penghormatan semata atribut, simbol, ritual, sehingga orang msih bingung dengan keadaan yang ada.  Padahal sejatinya    tidak demikian. Tidak cukup atribut itu dikenakan, jika hidupnya tidak selaras dan sepadan dengan apa yang dijalani.

Seks bebas, perilaku mengatasnamakan ekspresi kebebasan dalam ranah seksual itu sudah sangat mengerikan. Anak-anak ketagihan film porno, bapa membuntingi anak, pemuka agama merusak anak didiknya, guru-dosen memaksakan kehendak pada siswi-mahasiswi, relasi kuasa yang semena-men ada di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun