Nah, apakah sikap meremehkan ini juga akan sama, ketika itu terjadi pada anak, ponakan, atau kerabat mereka? Pasti tidak akan seperti itu, meskipun memang akan cenderung juga enggan susah.
Kawan yang mengatakan muridnya memilih om-om dari pada pacar sebaya, juga mengatakan bahwa mak dari siswanya mengatakan, biar saja mereka pacaran atau mau apa, kalau hamil dan minta kawin ya nikahkan saja.
Sepele, sederhana, dan semudah itu. Apakah    mereka akan berpikir mengenai biaya, soal nafkah, kesiapan alat-alat reproduksi, kesiapan mental anak-anak mereka, dan banyak aspek lain. Kawin tidak sekadar membuat anak. yang jauh lebih penting itu mendidik anak yang akan lahir dengan penuh pertimbangan.
Anak itu perlu makanan bergixi, nutrisinya kudu cukup, pendidikan dan pembinaan, tumbuh kembang yang optimal, kesehatan, sandang, papan tentu itu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan bagi anak-anak yang masih harus sekolah.
Mengapa orang tua menjawab demikian?
Mereka tidak ada kuasa, daya, dan wibawa di hadapan anak.  Anak  terbiasa seenaknya sendiri sejak kecil. Displin, bangun dan mandi pagi saja tidak disiapkan sejak dini. Perilaku anak  seturut keinginannya saja, pokoknya diam.
Orang tua tidak lagi mampu mengendalikan kebebasan anak yang sudah sangat kebablasan. Karena mereka sendiri juga tidak punya konsep anak itu harusnya seperti apa. Ungkapan frustasi semata ketika mengatakan ya kalau mau kawin nikahkan saja.
Lingkungan yang mendua. Mementingan tampilan dan ucapan suci, saleh, dan religius, namun abai soal perilaku dan tindak tanduk. Hal yang sangat biasa di tengah masyarakat kita,
Keteladanan. Bagaimana elit, tokoh, pesohor selalu mengenakan atribut keagamaan sebagai lambang kesalehan, namun perilaku dan ucapannya seolah bertolak  belakang. Caci maki biasa saja telontar. Padahal mengenakan atribut religius.
Penghormatan semata atribut, simbol, ritual, sehingga orang msih bingung dengan keadaan yang ada.  Padahal sejatinya   tidak demikian. Tidak cukup atribut itu dikenakan, jika hidupnya tidak selaras dan sepadan dengan apa yang dijalani.
Seks bebas, perilaku mengatasnamakan ekspresi kebebasan dalam ranah seksual itu sudah sangat mengerikan. Anak-anak ketagihan film porno, bapa membuntingi anak, pemuka agama merusak anak didiknya, guru-dosen memaksakan kehendak pada siswi-mahasiswi, relasi kuasa yang semena-men ada di mana-mana.