Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Singapura, Sudjiwotedjo, dan Radikalisme

18 Mei 2022   14:46 Diperbarui: 18 Mei 2022   15:02 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata soal keamanan bagi negeri itu, memproteksi dan antisipasi dari kedatangan UAS. Siapapun warga negara ini tidak bisa memaksa Singapura untuk tahu siapa UAS.

Lha Prabowo,  jenderal, lulusan Amrik saja pernah ditolak masuk Amerika kog.  Pihak Prabowo dan negeri ini tidak bisa memaksa USA untuk membuka kesempatan secara paksa pada mereka. Kecuali  diplomasi balik layar.

Apa yang kita pelajari dari ilustrasi di atas?

Satu, konsep kanak-kanak, berpusat pada diri, mau kisah Elon Musk, Singapura, atau karyawan di Jepang, semua identik. Mau dimengerti tanpa mau mengerti pihak lain dan kepentingan bersama. Ketika masih berfokus pada diri sendiri, kelompok dengan mengorbankan pihak lain yang lebih gede, bisa dimaknai sebagai anak-anak. Lihat saja bagaimana   anak-anak ketika mau meminta perhatian atau sesuatu. Mereka tidak peduli keadaan. Pokok e mendapatkan yang diinginkan.

Dua, ini akhirnya bersikap pada abainya penghormatan pada pihak lain menjadi rendah. Karena lagi-lagi sikapnya yang berorientasi pada diri, kelompok, dan merasa diri kudu mendapatkan prioritas, pengertian, dan dispensasi.

Sikap yang akhirnya abai pada kebersamaan. Pokoknya dirinya dan atau kelompoknya lah yang harus diprioritaskan. Menghormati kebersamaan dan kepentingan umum menjadi lemah, bahkan tidak peduli.

Sama dengan sikap yang sok kritis mengenai kaos Elon Musk, mereka lupa itu Amrik dan siapa yang jadi tuan rumah.

Tiga, Sudjiwotedjo mengatakan, jika orang yang terkungkung pada agama, dogmatis, dan ajaran-ajaran, bukan amalan akan rendah kreatifitas. Terbukti, bahwa para pekerja Indonesia tergeser oleh pekerja lain yang lebih efisien dan tidak banyak menuntut prioritas.

Empat, orang fokus pada bentuk, belum sampai memahami isi dan juga apa yang hakiki. Nah, labeling, pakaian, ucapan, ritual itu kan masih pada bentuk. Orang masih suka  kemasan bagu, meskipun isinya busuk dan buruk.  Orang lupa kalau bungkus itu sangat mungkin dibuang dan dilupakan.

Isi, konten, atau hal yang mendasar itu jauh lebih   penting. Namun kemampuan kita masih susah melihat hal yang esensial. Ada juga yang memanfaatkan untuk memprovokasi keadaan.    

Lima, lebih banyak pemahaman agama pada sisi ritual bukan pada amal. Nah, ini yang sering salah mengerti, sehingga tidak sampai pada Tuhan. Masih berkutat pada hal yang remeh temeh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun