Singapura, Sudjiwotedjo, dan Radikalisme
Membaca bukunya Sudjiwotedjo dalam salah satu dialog tokohnya mengatakan, jika agama itu hanya berkutat pada ritual, akan mengungkung pengikut alias umatnya dengan dogma-dogma yang menghambat inovasi dan kreasi. Sedikit banyak demikian yang bisa saya tuliskan ulang.
Sepanjang beragama hanya mengenai ritual dan label, orang terkungkung pada ajaran yang harus diikuti dengan taat, membuat orang takut salah dan konsentrasi pada harus benar dan menyenangkan "Sang Khalik" dengan kesalehan ritual yang dilakukan.
Hal yang identik dinyatakan Prof. Budi Purwokartiko yang menyebut kalau buruh migran di Jepang dari negeri ini mulai tergeser oleh buruh dari Vietnam dan Kamboja. Mengapa? Karena pekerja  kita terlalu sering meminta jam istirahat lebih untuk ibadah.
Prof. Budi melihat adanya pembedaan ibadah dengan kerja. Padahal bisa menggunakan kerja adalah juga ibadah. Peringatan bagi kelompok yang bersikukuh ranah private namun meminta kompensasi dan dispensasi dari kondisi umum yang berbeda. Konteks budaya dan adat Jepang yang berbedamelihat kerja dan ibadah tentu saja.
Pada ribut soal menerima Jokowi hanya dengan kaos. Dahlan Iskan membahas dengan apik mengenai hal ini. Tidak masalah karena pemilik Tesla ini biasa mengenakan koas termasuk ketemu orang penting. Itu Amerika. Berbeda ketika ketemu orang lain mengenakan jas, hanya Jokowi yang diterima dengan kaosan.
Jauh lebih penting adalah, apa yang diperoleh Indonesia, bukan yang dikenakan calon investor kelas paus itu. Lagi-lagi  menyual hal yang remeh, namun melupakan hal yang sangat mendasar dan penting. Investasi, bukan soal baju atau label yang dikenakan. Wajar dan pantas kog, apanya yang salah.
UAS dan Singapura
Fadli Zon menyoal mengapa ustad ini dideportasi, padahal ulama besar, tanpa mau tahu keadaan sesungguhnya. Singapura menolak "tamu", mau turis, orang lewat, atau siapapun itu hak sepenuhnya tuan rumah. Apapun alasannya, kita tidak bisa memaksakan kehendak, Singapura harus tahu kalau UAS adalah orang penting. Bagi Fadli mungkin, berbeda bagi negeri jiran itu.
Ternyata soal keamanan bagi negeri itu, memproteksi dan antisipasi dari kedatangan UAS. Siapapun warga negara ini tidak bisa memaksa Singapura untuk tahu siapa UAS.
Lha Prabowo,  jenderal, lulusan Amrik saja pernah ditolak masuk Amerika kog.  Pihak Prabowo dan negeri ini tidak bisa memaksa USA untuk membuka kesempatan secara paksa pada mereka. Kecuali  diplomasi balik layar.
Apa yang kita pelajari dari ilustrasi di atas?
Satu, konsep kanak-kanak, berpusat pada diri, mau kisah Elon Musk, Singapura, atau karyawan di Jepang, semua identik. Mau dimengerti tanpa mau mengerti pihak lain dan kepentingan bersama. Ketika masih berfokus pada diri sendiri, kelompok dengan mengorbankan pihak lain yang lebih gede, bisa dimaknai sebagai anak-anak. Lihat saja bagaimana  anak-anak ketika mau meminta perhatian atau sesuatu. Mereka tidak peduli keadaan. Pokok e mendapatkan yang diinginkan.
Dua, ini akhirnya bersikap pada abainya penghormatan pada pihak lain menjadi rendah. Karena lagi-lagi sikapnya yang berorientasi pada diri, kelompok, dan merasa diri kudu mendapatkan prioritas, pengertian, dan dispensasi.
Sikap yang akhirnya abai pada kebersamaan. Pokoknya dirinya dan atau kelompoknya lah yang harus diprioritaskan. Menghormati kebersamaan dan kepentingan umum menjadi lemah, bahkan tidak peduli.
Sama dengan sikap yang sok kritis mengenai kaos Elon Musk, mereka lupa itu Amrik dan siapa yang jadi tuan rumah.
Tiga, Sudjiwotedjo mengatakan, jika orang yang terkungkung pada agama, dogmatis, dan ajaran-ajaran, bukan amalan akan rendah kreatifitas. Terbukti, bahwa para pekerja Indonesia tergeser oleh pekerja lain yang lebih efisien dan tidak banyak menuntut prioritas.
Empat, orang fokus pada bentuk, belum sampai memahami isi dan juga apa yang hakiki. Nah, labeling, pakaian, ucapan, ritual itu kan masih pada bentuk. Orang masih suka  kemasan bagu, meskipun isinya busuk dan buruk.  Orang lupa kalau bungkus itu sangat mungkin dibuang dan dilupakan.
Isi, konten, atau hal yang mendasar itu jauh lebih  penting. Namun kemampuan kita masih susah melihat hal yang esensial. Ada juga yang memanfaatkan untuk memprovokasi keadaan.  Â
Lima, lebih banyak pemahaman agama pada sisi ritual bukan pada amal. Nah, ini yang sering salah mengerti, sehingga tidak sampai pada Tuhan. Masih berkutat pada hal yang remeh temeh.
Agama kan seharusnya mengantar orang pada Sang Pencipta. Namun, masih berkelahi soal agama, dengan memperbesar perbedaan. Terlihat pula egoisme dan pusatnya adalah diri bukan?
Enam, beragama seharusnya makin rendah hati, sabar, pengertian, toleran, bukan malah sebaliknya. Aneh dan ajaib sebenarnya jika orang beragama kog malah arogan, selalu minta prioritas, dan abai pada kepentingan umum.
Beragama tidak salah, namun juga sikap mau tahu keadaan dan situasi itu juga penting. Ini tentu bukan bicara mengenai agama, namun menyoal cara beragama yang tidak pada tempat yang pas. Â
Sekali lagi ini adalah ulasan mengenai sikap beragama, bukan menyangkut agama. Agama itu baik dan benar, namun penafsir atau orang yang menggunakan agama itu belum tentu lepas kepentingan. Nah, kadang lebih dominan kepentingan pribadi dan kelompok terlebih dulu.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H