Bongbong Marcos: BBC.com
Kemenangan Bongbong Marcos dan Politik Pilpres Indonesia
Demo waktu lalu, ada seorang mahasiswa yang memuji-muji Orde Baru dan mencela pemimpin saat ini.  Pernyataan itu  dengan  sangat mudah dibantah dan dimentahkan oleh generasi yang lebih tua.  Msih segar dalam ingatan generasi 80-an ke atas, bagaimana susahnya saat itu. Benar mahasiswa ini  kelahiran 90 ke sini, yang sangat mungkin masih belum paham yang terjadi pada pemerintahan Soeharto.
Pembahasan sejarah bangsa juga tidak demikian lugas memberikan pemahaman apa yang terjadi masa itu. Wajar sih , karena penguasa selanjutnya juga masih ada pertalian dengan sang penguas waktu itu. Berbeda dengan  labeling Orde Lama yang disematkan dengan bau PKI dan ormas terlarang. Jadi semua takut untuk sekadar bicara mengenai Sukarno.
Hambatan dan kesulitan dalam banyak hal yang membaca, mempelajari, dan juga sekadar mengidolakan Sukarno dan buah pikirnya jelas membuat jerih masyarakat. Sama sekali  tidak ada hal demikian untuk Soeharto. Malah ada sebuah parpol yang menggunakan photo dan ujaran yang terkenal, isih enak zamanku to?
Pemuja Orba dan Soeharto masih begitu banyak. Sama juga yang tidak respek dengan perilakunya yang terkenal dengan KKN dan juga otoriter. Baru saja membaca, bahwa orang yang berkomentar di media sosial ini, PNS kala itu. merasa jauh lebih mudah waktu itu dari pada hari ini. orang atau pihak yang mendapatkan keuntungan waktu itu tentu saja sangat memuja, ingat, sikap kritis bangsa ini sangat rendah. Apalagi jika mendapatkan keuntungan. Pihak lain menderita mana mau tahu.
Bongbong Marcos
Perjalanan politiknya cukup berbeda dengan yang ada di sini. Sebenarnya Titik Soeharto sudah  lumayan melalui Partai Golkar bisa menjadi anggota DPR RI.  Malah mundur lagi dengan kendaraan bersama sang adik, Tommy Soeharto dengan Partai Berkarya. Mencoba peruntungan di Papua yang diperbolehkan dengan perwakilan saja masih kalah.
Titik sendiri kurang begitu meyakinkan, selain ikut dalam gerbong mantan suaminya, Prabowo. Bongbong Macos menjadi anggota senat. Publik kenal dia secara politik ini yang membuat perbedaan. Jalan yang dirintis masih sejalan dan sebangun.
Lha anak-anak Soeharto jauh   dari itu. Mengapa menyorot keluarga  Soeharto? Karena hanya mereka yang memiliki kemiripan dengan keluarga Marcos. Dijatuhkan massa usai berkuasa sangat lama. Korup dengan indikasi konon, sepatu Imelda Marcos ada 3000 pasang. Presiden lain di Indonesia lainnya cukup berbeda.
Pun dibandingkan anak Sukarno, Habibie, Gus Dur, dan juga Jokowi, cenderung tidak begitu giat memperlihatkan keinginannya untuk ikut gelaran pilihan presiden. Anak SBY Â sih iya, atau cucu Sukarno. Â Jatuhnya dan kepemimpinannya yang mirip adalah Soeharto.
Ingatan publik yang pendek. Jelas di Philiphina yang sejak 86, dan di Indonesia yang 98, selisih 13 tahun, untuk Indonesia pilpres 24 bisa jadi belum. Namun jangan lupa, sangat mungkin dikemudian hari bisa jadi, cucu atau cicit Soeharto bisa naik dan menjadi presiden seperti kakek moyangnya.
Tentu berbeda dengan Sukarno dan Megawati, di mana mereka dalam pemilihan dan cara memimpin sangat berbeda. Penolakan dan pro atau kontra tidak demikian kuat.
Bonbong Marcos menapaki jalan yang memang politis, jadi wajar dari senator kemudian menjadi presiden. Inilah berkah demokrasi. Siapapun yang mampu meyakinkan publik, mau membeli suara atau tidak, bukan itu yang utama, apalagi jika demokrasinya masih coba-coba seperti negeri ini dan tetangga dekat itu.
Penggunaan media sosial dan menjual sejarah yang belum dikenal oleh kaum muda membantu Bongbong untuk bisa kembali masuk istana. Hal yang di sini pun sudah sekian lama menjadi gaya berpolitik  elit dan partai politik di negeri ini. Memutarbalikkan  fakta telah terjadi dan terbukti dengan pernyataan Orba memberikan kesejahteraan dan kebebasan bersuara. Padahal jelas-jelas itu adalah kebohongan.
Kesejahteraan, ini yang cukup membedakan. Bagaimana pemerintahan saat ini telah mengupayakan itu, hanya saja memang  korupsi dan barisan sakit hati selalu menjadi batu sandungan pembangunan sepenuhnya. Ini yang sangat mengganggu dan mereka ini sangat berisik. Suaranya ke mana-mana, tidak bekerja tetapi seolah melakukan segalanya.
Titik kritis ini, hoax, pemutarbalikan fakta, dan orang yang tidak peduli itu begitu banyak. Sangat terbuka kemungkinan bahwa si jahat kembali memimpin. Â Belum lagi minat baca dan belajar bangsa ini sangat minim.
Elit-elit, terutama parpol dan dewan juga lebih suka pemimpin yang berpikir demi kepentingan sendiri bukan untuk negeri. Bisa dibayangkan ke depan akan bisa jadi seperti Philiphina.
Negeri ini terlalu banyak orang yang asih feodalistik, hedon, dan munafik. Â Fasisme sangat mudah berkembang dan subur. Lihat saja bagaimana penanganan korupsi dan merajalelanya kekuatan uang dalam banyak segi. Upaya membangun dinegasi oleh orang-orang yang sudah terbiasa enak selama ini.
Orang jahat dan kejahatan merajalela karena orang baik diam saja. Jangan merasa karena belum bener, kemudian tidak berbuat atau melakukan kritikan. Sepanjang berdasar dan juga kepentingan orang banyak, mengapa tidak. Jika berpikir sempurna dulu untuk melakukan teguran atau nasihat, ya bubar jalan. Para pelaku hoax dan kejahatan saja tidak berpikir apapun, selain membuat rusuh kog. Saatnya orang baik bersikap dan melakukan kritikan, bukan hanya diam saja.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
 Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI