Pun dibandingkan anak Sukarno, Habibie, Gus Dur, dan juga Jokowi, cenderung tidak begitu giat memperlihatkan keinginannya untuk ikut gelaran pilihan presiden. Anak SBY Â sih iya, atau cucu Sukarno. Â Jatuhnya dan kepemimpinannya yang mirip adalah Soeharto.
Ingatan publik yang pendek. Jelas di Philiphina yang sejak 86, dan di Indonesia yang 98, selisih 13 tahun, untuk Indonesia pilpres 24 bisa jadi belum. Namun jangan lupa, sangat mungkin dikemudian hari bisa jadi, cucu atau cicit Soeharto bisa naik dan menjadi presiden seperti kakek moyangnya.
Tentu berbeda dengan Sukarno dan Megawati, di mana mereka dalam pemilihan dan cara memimpin sangat berbeda. Penolakan dan pro atau kontra tidak demikian kuat.
Bonbong Marcos menapaki jalan yang memang politis, jadi wajar dari senator kemudian menjadi presiden. Inilah berkah demokrasi. Siapapun yang mampu meyakinkan publik, mau membeli suara atau tidak, bukan itu yang utama, apalagi jika demokrasinya masih coba-coba seperti negeri ini dan tetangga dekat itu.
Penggunaan media sosial dan menjual sejarah yang belum dikenal oleh kaum muda membantu Bongbong untuk bisa kembali masuk istana. Hal yang di sini pun sudah sekian lama menjadi gaya berpolitik  elit dan partai politik di negeri ini. Memutarbalikkan  fakta telah terjadi dan terbukti dengan pernyataan Orba memberikan kesejahteraan dan kebebasan bersuara. Padahal jelas-jelas itu adalah kebohongan.
Kesejahteraan, ini yang cukup membedakan. Bagaimana pemerintahan saat ini telah mengupayakan itu, hanya saja memang  korupsi dan barisan sakit hati selalu menjadi batu sandungan pembangunan sepenuhnya. Ini yang sangat mengganggu dan mereka ini sangat berisik. Suaranya ke mana-mana, tidak bekerja tetapi seolah melakukan segalanya.
Titik kritis ini, hoax, pemutarbalikan fakta, dan orang yang tidak peduli itu begitu banyak. Sangat terbuka kemungkinan bahwa si jahat kembali memimpin. Â Belum lagi minat baca dan belajar bangsa ini sangat minim.
Elit-elit, terutama parpol dan dewan juga lebih suka pemimpin yang berpikir demi kepentingan sendiri bukan untuk negeri. Bisa dibayangkan ke depan akan bisa jadi seperti Philiphina.
Negeri ini terlalu banyak orang yang asih feodalistik, hedon, dan munafik. Â Fasisme sangat mudah berkembang dan subur. Lihat saja bagaimana penanganan korupsi dan merajalelanya kekuatan uang dalam banyak segi. Upaya membangun dinegasi oleh orang-orang yang sudah terbiasa enak selama ini.
Orang jahat dan kejahatan merajalela karena orang baik diam saja. Jangan merasa karena belum bener, kemudian tidak berbuat atau melakukan kritikan. Sepanjang berdasar dan juga kepentingan orang banyak, mengapa tidak. Jika berpikir sempurna dulu untuk melakukan teguran atau nasihat, ya bubar jalan. Para pelaku hoax dan kejahatan saja tidak berpikir apapun, selain membuat rusuh kog. Saatnya orang baik bersikap dan melakukan kritikan, bukan hanya diam saja.
Terima kasih dan salam