Semua Harus Jokowi, Ada Apa, dari Tiga Periode sampai Miinyak Goreng
Menarik, sistem demokrasi kita ini, lucu dan aneh. Mengaku presidential, namun toh dewan juga bisa memboikot, ingat KMP pada awal pemerintahan Jokowi. Atau betapa ribetnya dengan dewan ketika harus mengadakan UU baru. Padahal mereka juga tidak pernah berinisiatif. Terakhir mengenai harga minyak  goreng, yang sangat aneh dan itu fakta. Harus Jokowi sendiri yang turun tangan.
Mendag tidak berdaya, hanya muter-muter sendiri, KSP sempat juga bicara tidak berdampak. Gorengan dari minyak ini paling suka jelas Demokrat, yang bisa dapat membuat pasar murah. Logikanya, kog bisa dapat segitu  banyak, kemudian dijadikan pasar murah. Dua hal yang sangat tidak logis.
Pertama, dari mana minyak  goreng yang masih langka itu, namun mereka bisa memperoleh sebegitu banyaknyak, kecuali memang menjadi bagian "sabotase" nasional. Aneh dan lucu, mereka kan juga bagian warga negara.
Kedua, uang subsidi yang mereka pakai untuk membeli segian banyak dan kemudian mereka jual murah. Â Negara jelas punya uang anggaran untuk subsidi bagi masyarakat, warganya. Lha partai politik lho, sekian besar selisih harga. Kecuali mereka beli "harga teman" dengan para pengusaha mega minyak goreng. Sangat mungkin itu terjadi.
Ini soal oposan yang  pansos dan memang hanya bisa menghajar Jokowi. Selain itu tidak ada. mau berprestasi mana bisa mengejar ketertinggalan yang bak langit dan bumi itu.
Namun, mengapa harus semua Jokowi turun tangan, seolah bahwa hanya Jokowi yang bekerja, bahkan para menteri seolah tidak berdaya. Memang susah, ketika model bertata negara dan berbisnis lain sama sekali.
Puluhan tahun itu sama, pengusaha itu penguasa real pemerintah, upeti yang menjadi sasaran para elit yang ada di pemerintahan. Jadi, tahu sama tahu demi memperoleh fee, sikap makelaran yang memikirkan diri sendiri. Hal yang kini diubah, elit yang terbiasa mendapatkan upeti, ya meradang dan sangat mungkin membuat ulah bersama para pengusaha yang terbiasa main suap dan upeti demi mendapatkan order dan proyek.
Pengusaha, jelas mereka adalah pebisnis yang mencari keuntungan. Toh punya tanggung jawab sosial untuk memikirkan bangsa dan negara juga. Mereka tidak bisa abai, karena toh mereka hidup di tanah dan air Indonesia. Bisa hidup dan memiliki iklim usaha karena bangsa ini. Apa artinya?
Ketika mereka tidak bisa melakukan usaha, karena keadaan dan stabilitas baik ekonomi, sosial, keamanan, atau politik, tentu mereka akan meminta pemerintah turun tangan untuk mengendalikan keadaan. Â Mereka tetap tidak akan mampu berusaha jika kondisinya kisruh.
Hak  pengelolaan hutan atau perkebunan tentu saja lagi-lagi adalah milik negara, dalam hal ini perlu keterlibatan dan peran pemerintah. Memang, dan suka atau tidak, selama ini desas-desus semua bisa dibeli dengan uang jelas adanya.  Ketika uang menjadi penguasa, pemerintah tidak akan berdaya dengan para pengusaha yang sudah membeli dengan harga cukup tinggi bagi oknum negeri, jika dihitung untuk negara atau rakyat jelas belum seberapa.
Birokrasi seenaknya sendiri. Suka atau tidak, keputusan dibuat, namun di lapangan keadaan bisa berbeda. Mengapa demikian? Mental  birokrasi bobrok, bisa melakukan seenaknya sendiri. Ala-ala ABS, di depan ya ya namun di belakang, tidak mau tahu. Bisa berbeda jauh. Ini masalah tabiat yang bahkan mendekati budaya.
Apalagi diperparah dengan model timses menjadi pejabat. Lha timses pihak lain ada di bagian atas atau bawahnya, bisa terjadi saling sabot dan saling sewot. Ujung-ujungnya adalah negara dan masyarakat yang menjadi korban. Ini faktual.
Belum lagi jika bicara mengenai ideologi. Jauh lebih susah dari sekadar perbedaan afiliasi politik. Hal ini bukan rahasia lagi, tentu banyak yang paham, bagaimana banyak lembaga sudah menjadi lahan bagi ideolog yang mau menggantikan Pancasila. Mereka ini tentu saja akan membuat negara lemah dan yang penting perjuangan mereka bisa segera terlaksana.
Negara yang lemah dengan aneka macam sebab, tentu menjadi harapan mereka untuk bisa merebut kekuasaan. Faktual yang seolah dianggap biasa saja. Jangan heran jika banyak kebijakan tumpag tindih, lha peraturan juga demikian.
Suap, korup, dan kolusi. Hal yang sangat memprihatinkan. Hal yang sudah sekian lama mau dibersihkan gagal lagi gagal lagi. Susah karena begitu banyak kepentingan, di mana sudah terlalu enak menjadi benalu bagi negeri ini.
Penegakan hukum masalah ini juga seolah jalan di tempat. Miris, negeri religius namun masih saja ribet dengan maling berdasi. Tidak sejalan dengan  pengusutan penistaan agama, namun kaum agamawan pun masih mau suap menyuap. Hal yang tidak seharusnya terjadi di negeri ini.
Penyederhanaan   parpol menjadi salah satu cara untuk mengurangi konflik kepentingan dan perbedaan antarlini pemerintahan. Hal yang akan ditolak karena enaknya kue yang dibagi-bagikan oleh negara.
Penyadaran bahwa agama bukan sekadar label dan dentitas, namun juga laku dan cara bersikap sebagai bangsa dan negara. Hal yang masih terlalu jauh dari semestinya di negara ini. Terlalu banyak munafikun yang masih   bercokol di negeri ini. Religius namun sekaligus maling masih sangat biasa.
Jika hal ini sudah lebih baik, alam demokrasinya pasti jauh lebih baik juga. Memang masih harus dihadapi untuk negeri yang lebih baik.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H