Jokowi Turun, Adu Domba!
Awas, Tantangan Para Pendemo PendukungUsai demo 114, 214 hanya begitu-begitu saja, alasannya juga kebingungan sendiri, dan seolah akhirnya asal ada demo tanggal cantik dan alasan gampang. Jabatan tiga periode sudah usang, kemarin 214 menggunakan isu turunkan harga. Sebuah demo dengan ema yang cukup ngaco. Masih banyak masalah yang bisa dijadikan alasan, namun memlih yang basi seperti ini.
 Tidak ada yang salah dengan demonstrasi di negeri demokrasi seperti Indonesia ini. Perkaranya adalah  substansi masalah yang diperjuangkan itu urgen, mendesak, atau malah dimanfaatkan pihak lain. Semata demi kekuasaan, makar dengan cara yang sok demokratis. Ini yang perlu disadari.
Demo berseri-seri yang sejatinya sudah terlambat secara momentum dan politis. Kita lihat bersama, bagaimana demo 114 Â yang menyoal mengenai jabatan presiden bisa tiga periode. Mengapa mereka berdemo, sedangkan Jokowi yang dituding sudah dengan sangat lugas dan jelas mengatakan, tidak mendukung wacana itu.
Apakah mereka tidak mendengar? Jelas pasti tahu, namun karena kepentingan di baliknyalah yang membuat mereka tetap melakukan aksi. Lucu lagi, meminta Jokowi mundur dengan narasi jabatan itu, padahal sangat mungkin, bahwa SBY juga bisa maju, dan bisa pula Jokowi kalah. Siapa yang tahu coba?
Hal yang sangat tidak begitu mendasar apa yang mereka lakukan. Brbeda, ketika  itu adalah inisiatif pemerintah untuk dibahas di DPR. Sangat mendukung untuk demo.
Pelaku yang  menggelorakan narasi tiga periode adalah orang-orang partai politik. Ada  di Senayan, ada logika yang lompat, jadi cenderung asal bukan Jokowi dalam hal ini, apapun masalahnya Jokowi mundur dan tawaran ideologi  lain yang dipaksakan.
Demo 214, tuntutan turunkan harga. Mengidentikan dengan demo 66, di mana waktu itu memang demikian keadaannya. Paling tidak dari kisah yang terdengar atau terbaca. Kondisi saat ini, apakah benar rakyat menjerit karena barang mahal?
Ataukah mengada-ada, oleh orang yang bahkan tidak tahu bahwa ada barang atau tidak di pasar, karena mereka hidup dalam sangkar emas? Jika yang enjadi pedoman adalah harga minyak? Ke mana saja kalian? Ketika pemerintah sudah banyak mengupayakan cara untuk mengendalikan mafia itu.
Lonjakan harga itu sudah cukup lama, mengapa baru sekarang turun ke jalan? Ataukah mencari angka cantik, kan 212 lebih ngebrand, ada juga kelompok yang bermain sama dengan ini, atau 313, jadi dengan 214 itu sangat terlambat, jika bicara soal harga.
Keadaan global relatif sama, daya beli masih sangat rendah, harga-harga menggeliat naik, karena dampak pandemi dan juga adanya perang di Eropa sana. Lihat saja tuh di jalan, setiap hari berapa saja truk pengangkut sepeda motor baru lewat. Apa iya seperti ini dianggap rakyat menderita? Jalanan macet karena mobil dan motor pribadi. Mall penuh, uang itu ada, hanya banyak yang menahan diri untuk belanja karena memang keadaan belum pasti.
Benar banyak orang yang menderita dan kekurangan, nah masalah kesenjangan ini     kan aneka ragam penyebabnya. Salah satunya adalah korupsi. Mengapa tidak demo kepada pelaku korup yang masih kaya raya? Ke mana logika yang dibangun dan dipakai jika demikian?
Malah perbaikan untuk kinerja KPK saja demo juga. Bagaimana membersihkan  maling-maling itu malah tidak mereka, para pelaku demo ini pikirkan, apalagi demonstrasikan.
Kini, tantangan malah menyasar, mengapa pendukung Jokowi tidak turun ke jalan, untuk mendukung pemerintah? Ini sangat ngaco.
Pertama, ada agenda untuk membuat keadaan semakin panas dan kisruh. Terjadinya kekerasan dan saling serang sangat terbuka lebar. Ini yang mau diperoleh mereka, sehingga narasi selanjutnya adalah pemerintah otoriter.
Kedua, ini narasi yang sangat bahaya, bisa terjadi kekerasan dan kerusuhan antarwarga atas nama pro dan kontrapemerintah. Sangat susah diprediksi apa yang terjadi. Polisi dan    pihak keamanan akan menjadi sangat dilematis, itu yang dikehendaki para perancang keadaan buruk ini.
Ketiga, keadaan kacau ini yang sangat mungkin mahasiswa tidak pahami, dan sangat terbuka untuk ditunggangi pihak lain yang memang punya agenda sendiri. Apakah itu demi bangsa dan negara? Jelas sangat bukan. Hasrat berkuasa dan kemaruk atas kekayaan negeri ini.
Keempat, jika rusuh dan ada korban jiwa nanti pasti akan ada tudingan pemerintah, polisi, pihak keamanan represif, melanggar HAM, dan ujungnya kerusuhan lebih luas. Pihak asing juga akan ikut teriak bahwa pemerintah melanggar HAM. Hal yang abai disadari mahasiswa.
Kelima, sumbu pendek ada juga di kelompok propemerintah, ini yang perlu diwaspadai, karena potensi ribut dan rusuh sangat besar. Terjadi karena abai sisi rasional, dan fanatis buta dalam aneka rupa.
Jauh lebih terlihat ini adalah politis kepentingan sepihak, bukan demi negara seperti era 88 dan 98. Mengapa? Karena alasan yang kurang kuat dan mendasar.  Ada yang  sangat jelas dengan gamblang lepas konteks antara aspirasi dan fakta lapangan.
Cenderung narasi yang dipaksakan, apalagi ada pernyataan soal masa lalu yang bertolak belakang. Â Malah memperlihatkan potensi bahwa itu adalah pesanan.
Syukur bahwa keadaan aksi yang megulang-ulang itu memperlihatkan ke mana arahnya, sehingga antisipasi sangat mudah dilakukan. Semua pihak sudah belajar dan bersiap.
Proses belajar demokrasi yang memang kudu dihadapi dan dijalani, bahwa nanti akan menjadi lebih baik. Kekerasan apalagi atas nama demokrasi dan agama itu naif sejatinya.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H