Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Johnny Plate Harus Tahu yang Beginian

9 April 2022   20:43 Diperbarui: 9 April 2022   20:50 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

disk: kompas.com

Johnny Plate Harus Tahu yang Beginian

Media online memang sedang pada fase puncak. Berbeda dengan offline, terutama media cetak. Kejayaan itu tinggal masa lalu. Keberadaan keduanya padahal juga gantungan hidup banyak orang dan keluarga mereka.  Berapa besar kehidupan yang tersangkut baik langsung atau tidak.  

Wajar dan bagus jika Johnny Plate memikirkan perlunya sebuah sinergi dan kolaborasi kedua basis media ini. Tentu bukan saling meniadakan.  Ini perlu kerjasama dan kerendahan hati untuk bisa saling mendukung.

Padahal di dunia dewasa ini, lebih banyak persaingan untuk saling meniadakan. Pesaing itu musuh yang perlu untuk disingkirkan. Masalahnya hal itu susah karena berangkat dari induk yang sama. Beragam irisan yang saling mengait.

Johnny Plate menggagas sebuah peraturan yang menjembatani kedua kepentingan yang sedang berproses pada posisi . Satunya ada di puncak,  satunya menuju dasar jurang. Keberadaan publisher right  menjadi upaya menang-menang. Keduanya ada pada titik keseimbangan untuk sama-sama bisa eksis.

Kerja Wartawan

Istilah kuli tinta pada waktu itu, karena bekerja dengan tinta dalam menyiapkan tulisan dan mencetak berita.  Berkutat dengan tinta itu sebuah trade mark bagi wartawan.  Era berganti, zaman berubah, ketika komputer menjadi sarana vital, istilah kuli disket menjadi simbol istilah bagi para pewarta.

Kini, ketika zaman adalah media sosial, ada pergeseran juga kinerja para wartawan. Bagaimana mereka nyanggongi media sosial tokoh, orang yang biasa menciptakan kontroversial, bisa politik, agama, dan juga apapun itu asal menjadi tulisan.

Beberapa hal yang layak dicermati,

Pertama, jargon, bad news, is good news, sering membuat wartawan mengutip kemudian dijadikan berita, artikel, ataupun opini. Jelas demi klik yang mau disasar, sebagai tujuan untuk menarik pembaca.

Terutama akhir-akhir ini adalah boomingnya penceramah    agama, namun lebih sering bicara politik dan juga hanya bicara hal-hal yang bernada provokatif, jauh dari ajaran-ajaran agama yang sewajarnya.

Mereka ini makin besar karena liputan media. Lagi-lagi jargpn berita buruk adalah khabar baik itu. tanpa memikirkan dampak lebih jauh.

Kedua, jangan naif, bahwa berliterasi dan berdinamika di dunia maya, digital, dan internet ini adalah ajang  monetasi. Itu adalah hak dan wajar jika pekerja mendapatkan reward. Nah, ketika wartawan hanya mengutip begitu, dia mendapatkan bayaran padahal yang membuat karya hanya memperoleh remah-remah.

Ini masalah yang tidak besar, karena bisa saja penghasil karya tidak mencaari uang dengan itu. berbeda, kalau sama-sama  mencari uang.

Ketiga, plagiasi. Ini sanga serius, karena pelaku literasi malah melakukan plagiasi. Sering dengan dalih menuliskan nama si penulis sudah sah. Padahal jika mau fair si wartawan, menuliskan ulang dengan bahasa sendiri.

Ini juga malas dan tidak mau susah. Mengambil karya itu berbeda dengan menuliskan press release.

Keempat, bai etika. Bagaimana wartawan demikian melupakan etika. Yakin, mereka, tidak akan izin. Bagaimana pertanggungjawaban  etis  mereka? Entahlah, minim.

Ini seolah biasa saja, dan makin banyak media besar dan terpercaya mulai juga terkontaminasi.

Kelima, media itu memiliki tanggung jawab besar bagi kehidupan lebih bermutu bagi masyarakat. Bbagaimana    mencerdaskan masyarakat dengan tulisan dan berita bermutu. Bukan malah seadanya.

Hal yang serius, namun sama sekali tidak dianggap masalah dan itu baik-baik saja. Karena semua media juga demikian.

Keenam, dewan pers susah diharpkan perannya karena mereka partisan. Susah melepaskan asumsi kalau mereka orang partai yang bisa bersikap  netral dan obyektif.

Lagi-lagi masalah. bagaimana mereka bisa bersikap baik dan profesional, kalau mereka partisan. Sudah ada keberpihakan.

Pilar keempat demokrasi namun masih belepotan. Jadi ketika pada hal yang dasar saja abai , apa iya bisa memberikan penghargaan yang lebih besar lagi? Perlu kesadaran lebih lagi.

Terima kasih    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun