Pertama, jargon, bad news, is good news, sering membuat wartawan mengutip kemudian dijadikan berita, artikel, ataupun opini. Jelas demi klik yang mau disasar, sebagai tujuan untuk menarik pembaca.
Terutama akhir-akhir ini adalah boomingnya penceramah   agama, namun lebih sering bicara politik dan juga hanya bicara hal-hal yang bernada provokatif, jauh dari ajaran-ajaran agama yang sewajarnya.
Mereka ini makin besar karena liputan media. Lagi-lagi jargpn berita buruk adalah khabar baik itu. tanpa memikirkan dampak lebih jauh.
Kedua, jangan naif, bahwa berliterasi dan berdinamika di dunia maya, digital, dan internet ini adalah ajang  monetasi. Itu adalah hak dan wajar jika pekerja mendapatkan reward. Nah, ketika wartawan hanya mengutip begitu, dia mendapatkan bayaran padahal yang membuat karya hanya memperoleh remah-remah.
Ini masalah yang tidak besar, karena bisa saja penghasil karya tidak mencaari uang dengan itu. berbeda, kalau sama-sama  mencari uang.
Ketiga, plagiasi. Ini sanga serius, karena pelaku literasi malah melakukan plagiasi. Sering dengan dalih menuliskan nama si penulis sudah sah. Padahal jika mau fair si wartawan, menuliskan ulang dengan bahasa sendiri.
Ini juga malas dan tidak mau susah. Mengambil karya itu berbeda dengan menuliskan press release.
Keempat, bai etika. Bagaimana wartawan demikian melupakan etika. Yakin, mereka, tidak akan izin. Bagaimana pertanggungjawaban  etis  mereka? Entahlah, minim.
Ini seolah biasa saja, dan makin banyak media besar dan terpercaya mulai juga terkontaminasi.
Kelima, media itu memiliki tanggung jawab besar bagi kehidupan lebih bermutu bagi masyarakat. Bbagaimana   mencerdaskan masyarakat dengan tulisan dan berita bermutu. Bukan malah seadanya.
Hal yang serius, namun sama sekali tidak dianggap masalah dan itu baik-baik saja. Karena semua media juga demikian.